Top Menu

T-REC semarang-komunitas-reptil-semarang-Pig-Snout -turtles-and-a-targeted-Protected


Pig Snout turtles , and a targeted Protected


T-REC semarang-komunitas-reptil-semarang-Pig-Snout -turtles-and-a-targeted-Protected


 source by indonesia languange, links below :





Pig Snout turtles , and a targeted Protected

Wednesday, April 24, 2013
 By Ichwan SUSANTO

KOMPAS.com - During the last two years , smuggling more than 2,500 snout  pig turtles  thwarted  by jakarta. southern Papua endemic aquatic reptiles  are very popular as pets or food .

In the list of Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Plants and Animals ( CITES ) January 12, 2005 , tortoises with a snout like a pig  is classified in Appendix II . That is, the existence in the wild is not threatened with extinction , although trade must be controlled .

However , in the Indonesian conservation laws , pig snout turtle ( Carettochelys insculpta ) , including protected species . Through Government Regulation No. 7 of 1999 , a derivative of the Act No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems , these animals should not be used except for research and breeding purposes .



With this status , the use of turtle can only be of a pig snout captivity . There is no quota of nature . Moreover, the World Conservation Union ( IUCN ) , the turtles are included in the endangered category ( endangered ) . taking the turtles from the wild is a form of punishment .

Efforts breeding pig snout commercially , according to the Ministry of Forestry , only ever put forward CV Terraria Indonesia . However , less successful .

Forestry Ministry data shows , in  2002-2012  recently successfully bred 117 .

In CITES , in addition called  pig snout turtle ( pig - nosed turtle ) ,  fly river turtle ,
new guinea plateless turtle, and pitted-shell turtle

"The production is very low , but the smuggling of thousands . This shows , the market interest  pig snout turtle  is very high , " said Bambang Novianto Wawandono , Director of Biodiversity Conservation , Ministry of Forestry , Tuesday ( 04/09/2013 ) in Jakarta .


Price of adult turtles measuring more than 35 centimeters can Rp 5 million per head. Purpose exports (black market) to Hong Kong , Taiwan, and China.

Although protected, in Indonesia there is no comprehensive research that could describe the condition of these animals in the wild. Then why be included in CITES? Ministry reasoned, protection of this species preferred  even minimal scientific data.


"This  endemic and exotic fauna. Only in Indonesia, Papua New Guinea, and parts of Australia. Therefore, although not known abundance, we protect first rather than suddenly are extinct in the wild, "said Bambang.


A survey of nests population study  in Vriendschap River, Asmat, Papua, conducted by researchers at the Forestry Research Institute of Manokwari of West Papua, October-November 2009 for 4 weeks, showed the population there are 720  nests. Research November 2011 for 3 weeks found 131 nests.



One of the researchers, Richard GN Triantoro, say, the number of nests has not described the population as a whole during the peak nesting season which lasts throughout September-November. "However, from this population can be described is the large number of nests," he said.

Richard tends to call pig snout turtle with  pig snout labi-labi. According to him, the pig has soft shell  like labi-labi in general.

Large-scale exploitation

Information from pig snout egg poachers illegally  in 2011, they harvest 1,327 eggs in the nest with the shortest harvesting 2 months and a maximum of 5 months 1 week.



"It can be imagined how many thousands of items that are exploited every year from natural  if the eggs search  reached  more 20 peoples ," he said.

He said the egg harvesting is usually done the morning after turtle  finished spawning. However, now with the number of hunters from outside and local communities, harvesting is done early morning. Harvesting is done starting at 03.30 using a flashlight as a torch and drill (stick ) to detect the nest .

The abundance of nests that can be harvested at this time to make the hunters and local people think that harvesting will not affect the sustainability of pig snout labi-labi in nature. Impact, egg harvesting is done without thinking about the continuity of generations  pig snout  labi-labi  in the future.



The results showed that the intensity of harvesting nest in river reaches 100 percent. That is, all nests found were harvested without leaving untouched nest  in nature.

" labi-labi pig snout  lalbi-labi sooner extinct because the last few years of intensive harvesting is done," said Richard.


In fact, a pig snout turtles take 20 years to mature or nearly the same as humans. extinction is in sight. The cause, several generations lost nothing growing in natural  as substitute parent and parent loss due to consumed every year.



smuggling foiled

the highest Discomfiture  smuggling occurs on February 12, 2009 . Authorities seized 12,247 hatchlings and  mother pig snout labi-labi of a ship that aims to Hongkong . Parent will be sold to  number of restaurants with turtles menus  .

need for protective , population and habitat management is an absolute necessity for the survival of pig snout labi-labi .

Hopefully  exotic labi - labi  of Papua will not only be seen in the zoo aquarium , but also still be found by our children and grandchildren in the future to move swiftly and freely in nature .
• Source : Compass Print
• Editor : Yunan


original text :



Kura-kura Moncong Babi, Dilindungi dan Diincar
  • Rabu, 24 April 2013
·         Oleh ICHWAN SUSANTO
·         KOMPAS.com - Sepanjang dua tahun terakhir, penyelundupan lebih dari 2.500 ekor kura-kura moncong babi lewat Jakarta digagalkan. Reptil air endemis Papua bagian selatan ini sangat digemari sebagai hewan peliharaan ataupun santapan di luar negeri.

Dalam daftar Konvensi Perdagangan Internasional terkait Spesies Terancam Punah dari Tanaman dan Hewan Liar (CITES) 12 Januari 2005, kura-kura dengan bentuk moncong seperti babi ini diklasifikasikan dalam Apendiks II. Artinya, keberadaan di alam tak terancam punah meski perdagangannya harus dikendalikan.

Namun, di dalam perundangan konservasi Indonesia, kura- kura moncong babi (Carettochelys insculpta) termasuk satwa dilindungi. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, turunan dari Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, satwa ini tidak boleh dimanfaatkan kecuali untuk tujuan penelitian dan penangkaran.



Dengan status ini, pemanfaatan kura-kura moncong babi hanya bisa dari penangkaran. Tidak ada kuota pengambilan dari alam. Apalagi dalam Badan Konservasi Dunia (IUCN), kura-kura ini dimasukkan dalam kategori terancam punah (endangered). Artinya, pengambilan kura-kura ini dari alam merupakan bentuk pidana.

Upaya penangkaran kura-kura moncong babi secara komersial, menurut catatan Kementerian Kehutanan, hanya pernah diajukan CV Terraria Indonesia. Namun, kurang sukses.

Data Kementerian Kehutanan menunjukkan, tahun 2002-2012 baru berhasil menangkarkan 117 ekor. Tahun 2013, mereka mengajukan rencana produksi 25 ekor.

Di CITES, selain disebut kura-kura moncong babi (pig-nosed turtle), fauna ini disebut fly river turtle, new guinea plateless turtle, dan pitted-shell turtle.

”Produksi sangat rendah, namun penyelundupan sampai ribuan ekor. Ini menunjukkan, minat pasar terhadap kura-kura moncong babi sangat tinggi,” kata Novianto Bambang Wawandono, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Kehutanan, Selasa (9/4/2013) di Jakarta.




Harga tukik kura-kura moncong babi sekitar Rp 100.000 per ekor. Harga kura-kura dewasa berukuran lebih dari 35 sentimeter bisa Rp 5 juta per ekor. Tujuan ekspor gelap biasanya ke Hongkong, Taiwan, dan China.

Meski dilindungi, di Indonesia belum ada riset menyeluruh yang bisa menggambarkan kondisi hewan ini di alam. Lalu mengapa dimasukkan dalam CITES? Kementerian Kehutanan beralasan, perlindungan terhadap spesies ini diutamakan meski minim data ilmiah.

”Fauna ini endemis dan eksotis. Hanya ada di Indonesia, Papua Niugini, dan sebagian Australia. Karena itu, meski belum diketahui kelimpahannya, kami lindungi dulu daripada tiba-tiba sudah punah di alam,” kata Bambang.

Sebuah hasil penelitian berupa survei populasi sarang di Sungai Vriendschap, Asmat, Papua, yang dilakukan peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manokwari di Papua Barat, Oktober-November 2009 selama 4 minggu, didapatkan populasi sarang ada 720 buah. Penelitian November 2011 selama 3 minggu menemukan 131 sarang.


Salah seorang peneliti, Richard GN Triantoro, mengatakan, jumlah sarang belum menggambarkan populasi secara keseluruhan selama puncak musim peneluran yang berlangsung sepanjang September-November. ”Namun, dari populasi ini dapat digambarkan  masih banyaknya jumlah sarang,” katanya.

Richard cenderung menyebut kura-kura moncong babi dengan labi-labi moncong babi. Menurut dia, moncong babi memiliki cangkang lunak seperti labi-labi pada umumnya. Adapun cangkang kura-kura keras.

Eksploitasi besar-besaran

Informasi dari para pemburu telur moncong babi ilegal pada tahun 2011, mereka panen telur di 1.327 sarang dengan rentang waktu pemanenan paling pendek 2 bulan dan paling lama 5 bulan 1 minggu.



”Dapat dibayangkan berapa ribu butir yang dieksploitasi setiap tahun dari alam jika dalam semusim peneluran pencari telur di Sungai Vriendschap mencapai 20 orang lebih,” ujarnya.

Ia mengatakan, pemanenan telur biasanya dilakukan pagi hari setelah labi-labi selesai bertelur. Namun, kini dengan banyaknya pemburu dari luar dan masyarakat lokal, pemanenan dilakukan dini hari. Tujuannya agar bisa mendapat telur lebih dulu. Pemanenan dilakukan mulai pukul 03.30 menggunakan senter sebagai penerang dan tugal (tongkat penusuk pasir) untuk mendeteksi sarang.

Melimpahnya jumlah sarang yang dapat dipanen saat ini membuat para pemburu dan masyarakat lokal berpikir bahwa pemanenan tidak akan memengaruhi kelestarian labi-labi moncong babi di alam. Dampaknya, pemanenan telur dilakukan tanpa memikirkan kelangsungan generasi labi-labi moncong babi di masa depan.


Hasil penelitian menunjukkan, intensitas pemanenan sarang di Sungai Vriendschap mencapai 100 persen. Artinya, seluruh sarang yang ditemukan dipanen tanpa menyisakan satu pun sarang utuh di alam. Selain telur, penangkapan induk juga dilakukan untuk konsumsi makanan, terutama selama musim peneluran.

”Dikhawatirkan labi-labi moncong babi makin cepat punah karena beberapa tahun terakhir pemanenan dilakukan secara intensif,” kata Richard.

Padahal, kura-kura moncong babi perlu waktu 20 tahun untuk menjadi dewasa atau hampir sama dengan manusia. Bayang-bayang ke arah kepunahan sudah di depan mata. Penyebabnya, beberapa generasi hilang akibat tidak ada penerus yang berkembang di alam sebagai pengganti induk serta hilangnya induk akibat dikonsumsi setiap tahun.

Penyelundupan digagalkan

Penggagalan penyelundupan tertinggi terjadi pada 12 Februari 2009. Pihak berwajib menyita 12.247 tukik dan induk labi-labi moncong babi dari sebuah kapal yang bertujuan ke Hongkong. Induk labi-labi akan dijual ke sejumlah rumah makan dengan menu kura-kura.

Perlunya upaya perlindungan, manajemen populasi serta habitat merupakan suatu kebutuhan mutlak bagi kelestarian hidup labi-labi moncong babi. Satwa unik dan memiliki nilai komersial ini perlu dilestarikan dan diatur pengelolaannya.

Ketersediaan data mengenai populasi dan sebarannya di Papua masih menjadi pertanyaan dan masalah besar dalam pengelolaan yang harus segera dicari jawabannya.

Semoga labi-labi eksotik dari Papua ini nantinya tidak hanya dapat dilihat di akuarium kebun binatang, tetapi juga masih dapat ditemui oleh anak cucu kita di masa depan bergerak lincah dan bebas di alam. Keputusan yang diambil dengan pertimbangan dan evaluasi dari sejumlah pihak serta tindakan yang tepat diharapkan dapat menjadi solusi bagi kelestarian labi-labi moncong babi.
·          
·         Sumber : Kompas Cetak
·         Editor : yunan 













 





Share this:

 
Designed By OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates