DISAMPING KANAN INI.............
PLEASE USE ........ "TRANSLATE MACHINE" .. GOOGLE TRANSLATE BESIDE RIGHT THIS
......................
Bujuk
Rayu Sawit di Perkampungan Gorontalo
Bujuk
Rayu Sawit di Perkampungan Gorontalo
Sejak sepekan ini, di awal Maret 2014, warga di Desa Molanihu, Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo panen kacang tanah. Tak ada sawah di sini. Mungkin karena hutan begitu dekat. Di kampung berbukit yang berjarak sekitar dua jam dari Kota Gorontalo ini, kacang tanah menjadi komoditas unggulan. Ada juga jagung dan kelapa.
“Sampai beberapa waktu ke depan, sekitar satu bulan lagi, panen kacang masih berlangsung di sini,” kata Umi Lamara (62), dengan logat khas Gorontalo kepada saya.
Dia beristirahat sejenak. Air putih di jerigen berukuran lima liter dituangkan ke gelas plastik. Cuaca sebegitu panas. Kemarau kian panjang. Hujan belum juga turun.
“Panen jagung sudah selesai minggu kemarin. Tapi ada beberapa warga belum selesai panen. Ada juga yang bersamaan antara jagung dan kacang tanah.”
Keceriaan warga panen jagung dan kacang tanah kali ini sedikit terganggu. Bukan karena hasil tak maksimal. Namun, kehadiran perusahaan perkebunan sawit di kampung. Sawit cukup membuat mereka resah dan mengganggu pikiran. Tak ada seorang pun warga kampung pernah melihat seperti apa bentuk sawit itu. Kecuali lewat film dokumenter yang pernah mereka tonton diputar LSM lingkungan di Gorontalo, satu tahun lalu.
“Di Molanihu, sawit mulai masuk di Dusun Binidaa dan Dusun Malahengo,” kata Lamara. Dia menunjuk ke timur, ke Dusun Binidaa.
Sebagian besar masyarakat di Molanihu, menolak perkebunan sawit. Informasi yang mereka dapatkan, sawit sangat rakus air. Di desa itu, sumber mata air utama dari gunung belakang desa dan menghidupi seluruh kebutuhan rumah tangga di Desa Molanihu. Juga dari Sungai Pilomalula, salah satu anak Sungai Pohu. Ia sumber air bagi produksi pangan di Desa Molanihu dan ratusan hektar sawah di daerah hilir di Kecamatan Bongomeme.
Siang itu, sekitar 15 warga berkumpul. Mereka bergotong royong membersihkan kacang tanah. Dalam percakapan mereka, sawit menjadi topik utama. Selain membahas soal pembelian tanah oleh perusahaan yang tidak sesuai, hingga dampak ekologis yang mereka ketahui.
“Kalau sawit masuk di kampung ini, kita akan kesulitan air. Sungai akan kering. Semua mengalami kekeringan,” kata Iko Luawo, seorang warga, kepada istrinya dan ibu-ibu lain yang sedang bekerja.
Mendengar pernyataan itu, putrinya berumur 10 tahun menimpali. “Kalau begitu sapi juga pasti akan kehausan karena air di sungai habis.” Semua yang mendengar tertawa.
Dalam percakapan siang di kebun itu, warga menyebutkan perusahaan sawit berhasil menguasai desa tetangga mereka, yaitu Desa Liyodu. Desa Liyodu merupakan pemekaran dari Desa Molanihu. Mereka sudah mengingatkan kepada saudara-saudara di Liyodu, namun tanah-tanah sudah dikuasai perusahaan.
Tanah dijual dengan murah kepada perusahaan sawit. Satu hektar tanah beserta tanaman kelapa, paling mahal dihargai Rp3 juta. Harga terendah satu hektar Rp750 ribu. Ada yang menolak, namun banyak terpaksa dan langsung menjual. Bahkan, seorang warga di Desa Liyodu, tanah satu hektar bersama 100 lebih kelapa hanya Rp2,7 juta. Mereka diiming-imingi menjadi pekerja dalam perusahaan sawit, setelah menjual tanah.
Tawaran perusahaan sawit itu juga datang kepada Abdurahman Luawo, tokoh masyarakat di kampung itu. Dia bercerita, sudah 20 kali perusahaan sawit mendatangi dan membujuk menjual tanah. Baik tanah di Desa Liyodu maupun di Desa Molanihu. Tanah dia selalu menjadi incaran. Yang terakhir, tanah seluas satu hektar berdekatan dengan sungai ditawari tempat pembibitan sawit. Sekali lagi, dengan tegas dia menolak.
“Sawit itu tanaman merusak. Pengalaman sudah terlihat, tanah di Kalimantan dan Sumatera rusak.”
Menurut dia, kampung ini salah satu daerah hulu. Saat ini saja, laju sedimentasi sungai ke hilir di Danau Limboto, cukup parah. “Apalagi kalau sawit merajalela, pendangkalan danau makin cepat, lalu sawah-sawah dan kebun warga di desa hilir akan rusak.”
Perusahaan sawit sudah sosialisasi di dua kampung tetangga itu sejak 2012. Namun, tak ada sosialisasi resmi kepada pemerintah desa. Sampai kini, mereka tak tahu apa nama perusahaan sawit itu. Tak ada informasi memadai yang mereka dapatkan.
Perwakilan perusahaan sawit, baru akan sosialisasi ketika melihat ada warga yang berkumpul di kantor desa. Atau saat kepala dusun dan tokoh masyarakat berkumpul, mereka numpang mampir dan memaparkan rencana penanaman sawit.
“Tapi aparat desa di Molanihu tak ada respon. Akhirnya, mereka turun langsung ke masyarakat dan membujuk. Anehnya, orang perusahaan sawit yang datang berbeda-beda. Saat sosialisasi, pengukuran tanah, dan pembayaran tanah semua orang berbeda. Ini mencurigakan!” kata Abdurahman.
Lain hal dengan Linda Pomu, Sekretaris Desa Liyodu. Menurut dia, tak ada masalah dengan perusahaan sawit. Perusahaan berjanji memberdayakan masyarakat desa sebagai pekerja sawit. Daripada banyak masyarakat pergi merantau sampai ke Sulawesi Utara di Bitung dan Manado, atau ke Palu.
“Di kampung ini, sangat sedikit laki-laki yang bisa dilihat karena sebagian besar merantau. Sekitar 50 bekerja di pabrik gula di Paguyaman, Kabupaten Boalemo. Ada perusahaan sawit, para perantau itu bisa kembali dan membangun desa. Apalagi perusahaan berjanji 200 warga desa Liyodu akan diproritaskan sebagai pekerja.”
Di Desa Liyodu, kurang lebih 100 keluarga telah menjual tanah mereka ke perusahaan sawit seharga Rp750 ribu sampai Rp3 juta per hektar. Lalu warga yang menjual tanah itu harus memasukkan kartu keluarga dan kartu tanda penduduk.
Alasannya sederhana. Kata Linda, kelak mereka menjadi pekerja dan sebagai warisan. Sebagai contoh, ketika ada keluarga meninggal, yang akan melanjutkan adalah ibu atau anak-anak.
Sama dengan Desa Molanihu, di desa ini mayoritas warga bercocok tanam mengandalkan jagung, kacang tanah, kelapa, cabai, dan sayur-sayuran. Semua jenis pangan itu sebentar lagi hilang berganti sawit. Warga yang menjual lahan kepada perusahaan itu otomatis bekerja di perusahaan sawit.
“Perusahaan berjanji akan mempekerjakan masyarakat yang sudah menjual tanah ke perusahaan dengan gaji Rp1,3 juta dan akan diberikan Jamsostek,” kata Linda.
Dia mengungkapkan, perusahaan ketika bersosialisasi kepada warga menjanjikan kehidupan lebih baik dari sekarang. Dia mencontohkan, mobil Toyota Avanza yang sering dipakai di Gorontalo, di perusahaan sawit Kalimantan, hanya setara bentor– kendaraan roda tiga khas Gorontalo—alias dinilai tidak begitu berharga.
Mendengar itu, warga sumringah. Ketika ditanyakan soal krisis air yang akan terjadi, perusahaan membantah, bahwa itu tidak betul. Sayangnya, Linda tak mengetahui persis nama perusahaan sawit itu. Padahal, sudah sejak 2012 perusahaan datang ke desa.
“Saya tidak tahu nama perusahaan itu. Yang jelas setelah pemilu mereka mulai pembibitan. Meski tanah untuk tempat pembibitan masih bermasalah.”
Pangan Terancam
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gorontalo menyebutkan, luas wilayah Kecamatan Bongomeme 30,13 kilometer persegi. Topografi wilayah 54 persen di daerah hamparan, dan 44 persen di lereng gunung. Cukup luas wilayah lereng gunung menjadikan Kecamatan Bongomeme dilintasi 16 sungai.
Salah satu sungai penting yaitu Sungai Alo Pohu, merupakan daerah aliran sungai (DAS) Limboto. Muara sungai ini mengalir sampai ke Danau Limboto dan menjadi sumber persawahan milik masyarakat di hilir.
Berdasarkan laporan Kecamatan Bongomeme Dalam Angka 2012, penduduk bekerja pada sektor tanaman bahan makanan 7816 orang. Jakfar Dai, Ketua Badan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Bongomeme, mengatakan komoditas pangan unggulan di kecamatan itu beras, jagung, kacang tanah, cabai, kacang hijau dan kelapa.
Kehadiran sawit di wilayah mereka akan berdampak negatif terhadap ketersediaan pangan di Kecamatan Bongomeme. Sebab, lokasi yang akan ditanami sawit merupakan lahan pangan unggulan. Sawah-sawah dipastikan hilang karena perairan bergantung pada Sungai Alo Pohu. Hal ini juga akan berdampak pada daerah sekitar yang bergantung sumber air sungai.
Dia tak mengetahui nama perusahaan sawit yang berinvestasi itu karena tidak pernah berkoordinasi dengan mereka. “Banyak tokoh masyarakat menolak sawit di sini. Selain rentan pangan, juga gampang erosi dan unsur hara dalam tanah akan hilang,” kata Jakfar.
Di Kecamatan Bongomeme, sudah ada empat desa menjadi sasaran sawit, yaitu, Desa Kayu Merah, Liyodu, Molanihu, dan Liyoto. Di Desa Kayu Merah, hampir semua menerima sawit dan telah membentuk tiga kelompok sawit yang tergabung dalam Gapoktan (Gabungan Kelompok Pertanian).
“Kami sampai saat ini belum tahu berapa pendapatan asli daerah yang akan diberikan ke kecamatan ketika sawit ini panen. Kami tidak ingin cari tahu lebih dalam. Karena kami hanyalah pegawai kecamatan. Kami takut. Itu kewenangan mereka (pejabat) di kabupaten.”
Menurut Wawan Tolinggi, akademisi dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG), persoalan pangan sangat strategis kini dihadapi masyarakat adalah pengelolaan sumber daya alam tidak ramah lingkungan dan eksploitasi maupun dominasi SDA oleh pemilik modal.
Untuk mengukur suatu wilayah mengalami kerentanan pangan dengan melihat pada angka kekurangan gizi (AKG). Dari data evaluasi kinerja pemerintah Gorontalo tahun 2013, AKG dan gizi buruk pada anak balita di Gorontalo, pada 2009 sebanyak 715 orang, 2010 sebanyak 2.232 orang, tahun 2011 sebanyak 1.073 orang. Tahun 2012 sebanyak 662 orang.
Sri Utami Nadjamudin, Kepala Bidang Perkebunan pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Gorontalo mengungkapkan, ada tiga perusahaan sawit masuk ke Kabupaten Gorontalo, dibawah bendera Palma Group. Namun dua perusahaan tidak serius, PT Heksa Jaya Abadi tancap gas turun mencari lahan masyarakat, di luar kawasan hutan.
Mereka mengincar empat kecamatan di Kabupaten Gorontalo, yaitu Bongomeme, Pulubala, Tabongo, dan Tibawa.
“Proses perizinan seperti Amdal dan izin lokasi sudah ada. Izin Usaha Perkebunan belum keluar, karena kami masih menunggu proses perusahaan selesai, yaitu pembebasan lahan milik masyarakat,” ujar Sri.
Dia mengatakan, tak ada lagi istilah inti-plasma. Skema yang dilakukan oleh perusahaan sawit kepada masyarakat merujuk pada Permentan nomor 98 tahun 2013 tentang izin usaha perkebunan yang mengatur pola kemitraan perkebunan sawit yaitu 20 persen untuk pemberdayaan masyarakat.
Sri ketika ditanya mengenai keuntungan perkebunan sawit, agak sedikit ragu. Wajahnya terlihat mengkerut. Masyarakat Gorontalo katanya, secara kultur tidak mengenal sawit. Mereka lebih terbiasa dengan tanaman seperti jagung, cabai , dan kelapa. Sesusah apapun masyarakat Gorontalo, katanya, tetap masih bisa makan.
Namun, dia mengaku sudah berkonsultasi hingga ke Kementerian Pertanian agar lebih hati-hati mengeluarkan izin. Bahkan beberapa pejabat daerah beserta anggota dewan setempat telah studi banding ke perkebunan sawit di Lampung, Sumatera. Tujuannya, mengetahui lebih dekat seperti apa sawit itu.
“Ya, kami melihat perusahaan sawit sangat serius berinvestasi. Lagi pula, di tingkat masyarakat tidak ada pemaksaan menjual tanah. Siapa yang mau saja. Kami melihat sisi positif, karena diuntungkan dengan pembangunan jalan dan infrastruktur lain.” Muhamad
Jufrihard, aktivis lingkungan dari Perkumpulan Telapak mengatakan, perusahaan sawit yang masuk di Kabupaten Gorontalo, berdampak besar pada masyarakat sekitar. Juga sistem pengairan sawah di daerah yang berdekatan dengan Kecamatan Bongomeme, seperti Kecamatan Dungaliyo.
Selain itu, harus diukur lagi ancaman rill terkait produksi pangan yang berpotensi dihilangkan oleh sawit.
Menurut dia, pelepasan lahan berimbas jangka panjang terhadap hak kepemilikan tanah. Sebab, masyarakat akan kehilangan potensi bercocok tanam. Sedang membuka lahan baru untuk pengembangan pangan, sudah tak ada lagi. Persoalannya, masyarakat tidak pernah sadar ancaman sawit.
“Menurut saya, perusahaan telah membodohi masyarakat. Tanah dibeli Rp3 juta per hektar, itu sama saja Rp300 per meter. Itu harga tanah lebih murah dari harga pisang goreng,” kata Djufri.
Bondan Andrinayu dari Sawit Watch, mengatakan, skenario pembangunan sawit tidak lepas dari cara legal maupun ilegal melalui transfer penguasaan tanah skala besar. Mereka mengabaikan hak-hak penduduk setempat.
Bondan mencontohkan, di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, ada empat faktor dalam proses penggusuran masyarakat setempat atas tanah-tanah, yakni peraturan, pasar, legitimasi politik dan paksaan ataupun melalui penipuan.
“Agenda penting yang mendesak segera dilaksanakan melakukan legal audit dan legal komplain terhadap semua perizinan perusahaan perkebunan dan kehutanan, semacam izin lokasi, HGU, izin-izin kehutanan, dan lain-lain. Juga sangat penting kebijakan daerah tentang perkebunan berkelanjutan.”
Berdasarkan catatan Oxfam, akibat eksploitasi SDA seperti perkebunan sawit ini memperparah krisis pangan di Indonesia. Indeks ketahanan pangan Indonesia tahun 2012 jauh berada di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Berdasarkan rilis Oxfam, untuk regional Asia Tenggara, dari tujuh negara, Indonesia berada diurutan kelima. Peringkat pertama Malaysia, disusul Thailand, Vietnam, dan Fhilipina. Indonesia di atas Myanmar dan Kamboja dengan kategori moderat. Sementara di tingkat global, Indonesia berada diperingkat 65 dari 105 negara.
“Praktik eksploitasi oleh perusahaan ekstraktif ini selain memperparah krisis pangan, juga membuat kekacauan iklim dan degradasi ekologis,” kata Taufiqul Mujib, Koordinator Kampanye Oxfam Indonesia.