Top Menu

Efek Samping Rekayasa Teknologi dalam Mengatasi Perubahan Iklim---T-REC semarang-komunitas reptil semarang

.....SILAHKAN MENGGUNAKAN " MESIN TRANSLATE "..GOOGLE TRANSLATE 
DISAMPING KANAN INI.............


PLEASE USE ........ "TRANSLATE MACHINE" .. GOOGLE TRANSLATE BESIDE RIGHT THIS


.......................



Efek Samping Rekayasa Teknologi dalam Mengatasi Perubahan Iklim



 Efek Samping Rekayasa Teknologi dalam Mengatasi Perubahan Iklim



Oleh LiveScience | Yahoo News – 


Oleh Charles Q. Choi, Kontributor LiveScience

Rencana untuk mengurangi dampak kekacauan akibat perubahan iklim dengan memanipulasi iklim Bumi cenderung tidak efektif. Malah, sebuah penelitian terbaru menunjukkan, upaya-upaya ini justru memperburuk terjadinya dampak perubahan iklim.

Karbondioksida yang meningkat di atmosfer secara dramatis sejak Revolusi Industri bisa berdampak pada naiknya permukaan air laut, cuaca sangat ekstrem, dan kekacauan lainnya dalam iklim setempat dan regional.

Karbondioksida adalah gas rumah kaca yang memerangkap panas, sehingga saat jumlah gas meningkat, kondisi Bumi secara keseluruhan akan semakin panas.

Selain mengurangi emisi karbondioksida, ada yang menyarankan untuk memanipulasi iklim Bumi sebagai upaya terakhir mencegah bencana dari dampak perubahan iklim. Strategi yang dianggap radikal itu dikenal sebagai geoengineering atau rekayasa iklim.

Banyak ilmuwan menyelidiki dan mempertanyakan kemanjuran masing-masing metode geoengineering. Ada beberapa upaya untuk membandingkan dan membedakan dengan beragam metode, mulai dari pemupukan laut sehingga biota maritim menyerap karbondioksida yang berlebihan hingga melepaskan aerosol ke atmosfer untuk memantulkan sebagian sinar matahari yang masuk ke antariksa.   

Saat ini, para peneliti menggunakan sebuah model Bumi dari komputer 3D yang menguji potensi keunggulan dan kelemahan dari lima teknologi geoengineering yang berbeda. 

Akankah berhasil?
Peneliti menemukan bahkan ketika beberapa teknologi digabungkan, geoengineering tidak akan mampu mencegah kenaikan rata-rata suhu Bumi lebih dari dua derajat Celcius pada 2100 nanti dibandingkan dengan suhu saat ini.

Batas kenaikan suhu itu menjadi fokus berbagai organisasi internasional. Berbagai teknologi tersebut tidak mampu mencegah kenaikan suhu, bahkan ketika masing-masing teknologi digunakan secara berkelanjutan dan dalam skala terbesar yang dianggap mungkin.

“Potensi kebanyakan metode rekayasa iklim, bahkan saat sudah memasukkan hasil paling optimis, jauh lebih rendah dari yang saya perkirakan,” kata pengarang studi Andreas Oschies, seorang pembuat model sistem bumi di GEOMAR Helmholtz Centre for Ocean Research yang berada di Kiel, Jerman.  

Salah satu strategi, yang dikenal sebagai reboisasi, adalah rencana mengairi gurun di Australia dan Afrika Utara, untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman agar bisa menyerap karbondioksida. Namun, tanaman ini juga akan menyerap sinar matahari gurun yang saat ini dipantulkan kembali ke antariksa, sehingga benar-benar berkontribusi pada pemanasan global. Temuan itu mendukung hasil penelitian sebelumnya.

Taktik lainnya yang dikenal sebagai "ocean upwelling", taktik yang menggunakan pipa panjang untuk memompa air dalam yang dingin dan kaya nutrisi ke permukaan untuk mendinginkan permukaan laut dan mendorong pertumbuhan biota fotosintesis yang bisa menyerap karbondioksida. Namun, para ilmuwan memperhatikan bahwa jika strategi ini dihentikan, kondisi laut akan menyeimbangkan kembali tingkat panasnya, yang berpotensi menyebabkan bencana perubahan iklim secara cepat.   

Pendekatan lainnya dikenal sebagai "ocean alkalinization" yang akan membuang cairan ke dalam laut agar secara kimiawi meningkatkan penyerapan karbondioksida oleh laut.

Teknik lainnya, yang dikenal sebagai pemupukan zat besi, akan membuang zat besi ke laut guna meningkatkan pertumbuhan biota fotosintesis yang bisa menyerap karbondioksida. Namun, seperti strategi geoengineering lainnya, model-model tersebut kurang efektif dalam mengurangi suhu global.
 
Metode terakhir, yang dikenal sebagai manajemen radiasi surya, akan mengurangi jumlah cahaya matahari yang masuk ke bumi, kemungkinan besar dengan menyebarkan aerosol berbasis sulfat reflektif ke dalam atmosfer.

Pengaturan cahaya sinar matahari di Bumi akan mendinginkan planet, namun para peneliti menekankan bahwa karbondioksida akan terus terakumulasi di atmosfer. Hal tersebut menyatakan bahwa jika strategi itu sempat dihentikan, Bumi akan memanas secara pesat setelah aerosol tersebar.

Kemungkinan efek sampingnya
Secara keseluruhan, strategi itu masing-masing relatif kurang efektif. setiap strategi mengurangi pemanasan global kurang dari delapan persen, dengan asumsi tingkat emisi karbondioksida masih terus tinggi seperti kondisi saat ini.

Para peneliti menemukan bahwa dalam seluruh simulasi, pada akhir abad 21 nanti, tingkat karbondioksida atmosfer masih akan mencapai lebih dari dua kali lipat dari level saat ini.
   
Selain itu, masing-masing teknik geoengineering bisa berpotensi menimbulkan efek samping yang parah. Contohnya, manajemen radiasi surya akan mengubah pola presipitasi seperti curah hujan dan mengurangi total presipitasi di seluruh dunia.

Secara keseluruhan, teknologi rekayasa iklim yang dianalisis dalam studi ini kurang efektif dalam menurunkan tingkat karbondioksida dan temperatur. Dan kelemahan dari dampak yang ditimbulkan tersebut “sangat mencolok”, kata ilmuwan iklim Kelly McCusker di University of Victoria di Kanada, yang terlibat dalam penelitian itu.

McCusker dan koleganya juga baru-baru ini menemukan bahwa penghentian mendadak dalam strategi manajemen radiasi surya justru akan memperburuk pemanasan global. 

“Studi ini menegaskan pentingnya untuk terus menerus mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata McCusker kepada Live Science.

Para peneliti mencatat mereka menggunakan model sistem umi yang cukup kompleks, dan model yang lebih kompleks tersebut melibatkan tampilan lebih rumit mengenai kemungkinan respons angin terhadap geoengineering. “Kemungkinan ini menghasilkan jawaban yang berbeda-beda, khususnya perubahan presipitasi,” ujar Oschlies.

Oschlies dan koleganya David Keller serta Ellias Feng merinci penemuan mereka secara online pada 25 Februari dalam jurnal Nature Communications.





 

 

Share this:

 
Designed By OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates