T-REC semarang-komunitas-reptil-semarang-Pertanian-Masyarakat-Ramah-Lingkungan- Gaya-Jorong-Simancuang
Pertanian Masyarakat Ramah
Lingkungan Gaya Jorong Simancuang
Oleh Lili
Rambe (Kontributor Jambi), September 26, 2013 3:40 am
Tiap-tiap orang mendapatkan lahan sawah dengan ukuran lebar 50 meter diukur dari pinggiran aliran sungai sedangkan panjang lahan tergantung pada kemampuan mereka untuk membuka lahan. Mereka membuat sawah di kepala-kepala aliran sungai agar lahan-lahan sawah mendapatkan distribusi air yang cukup. Cadangan air untuk sawah – sawah ini tersimpan di kawasan hutan yang terletak di bagian barat desa. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai hutan nagari (hutan desa) dan dikelola oleh Pengelola Hutan Nagari Simancuang.
Sebagian besar warga desa yang berdiri sejak tahun 1974 ini berprofesi sebagai petani padi dan masih mempertahankan cara menanam padi tradisional sehingga jumlah pupuk dan pembasmi hama berbahan kimia yang digunakan jauh lebih sedikit. Penanaman padi dilakukan dua kali dalam setahun. Waktu bertanam padi sengaja dilakukan secara serentak dengan tujuan untuk mengurangi serangan hama. Sebelum dibajak dan ditanami, sawah terlebih dahulu diberi pupuk berupa kotoran ternak. Kemudian bibit padi yang akan ditanam dicelupkan terlebih dahulu kedalam pupuk NPK. Setelah ditanam padi tidak perlu diberi pupuk lagi.
Esy, seorang petani padi di Simancuang mengaku membersihkan gulma dengan menggunakan herbisida memerlukan biaya yang cukup besar sehingga ia lebih memilih untuk membasmi gulma secara manual karena tidak memerlukan biaya. Disamping membasmi gulma secara manual, keong sawah juga digunakan oleh warga Simancuang untuk mengendalikan gulma di sawah mereka.
Jenis padi yang ditanam di desa ini adalah jenis padi lokal. Padi jenis Anak Daro adalah padi unggulan dari desa ini karena menghasilkan beras yang paling tinggi harga jualnya. Beras Anak Daro dijual dengan kisaran harga Rp 13.000 hingga Rp 14.000 per sukek (1 sukek = 1,6 kilogram). Tapi harga ini bukanlah harga didapat oleh petani Simancuang karena selama ini mereka menjual berasnya ke tengkulak. Tengkulak hanya menghargai beras mereka sebesar Rp 11.000 per sukek. Oleh karena itu Pengelola Hutan Nagari Simancuang berinisiatif membentuk unit usaha penjualan beras agar dapat menjual beras tanpa melalui tengkulak.
KKI (Komunitas Konservasi Indonesia) Warsi yang telah mendampingi masyarakat Simancuang dari tahun 2009 juga terus berupaya memperkenalkan dan memperluas jaringan distribusi beras Simancuang sehingga nantinya petani Simancuang dapat menjual berasnya secara mandiri. “Saat ini kami meminta bantuan KKI Warsi untuk mendapatkan sertifikasi beras organik” jelas Edison, Koordinator Pengelola Hutan Nagari Simancuang. Dengan mengantongi sertifikat organik ini ia berharap beras Simancuang dapat dijual dengan harga yang lebih baik dan dapat dijual langsung ke konsumen tanpa harus melalui tengkulak.