DISAMPING KANAN INI.............
PLEASE USE ........ "TRANSLATE MACHINE" .. GOOGLE TRANSLATE BESIDE RIGHT THIS
........................
Babeh Idin, Jejak Si Pitung
Kali Pesanggrahan
Oleh Rachmat Muslim
| Plasadana – Rab, 12 Feb 2014
Kali Pesanggrahan yang mengular dari Kabupaten Bogor, Depok,
terus ke Jakarta dan Tangerang, kerap menjadi biang keladi muasal banjir di
Jakarta. Bukan apa-apa, aliran sungainya kurang lancar, di antaranya akibat
sampah. H. Chaerudin yang kerap disapa Babeh Idin yang tinggal di sekitarnya
pun ikut geram, kemudian langsung beraksi.
Nama Babeh Idin, kini sudah tidak asing bagi pegiat
lingkungan. Sosok pria paruh baya yang selalu mengenakan pakaian khas Betawi,
lengkap dengan peci dan goloknya, ini merupakan pioner konservasi lingkungan di
bantaran Kali Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Berkat aksinya, bantaran Kali Pesanggrahan yang sebelumnya kotor dan penuh sampah menjadi taman kota yang sejuk dan asri. Jika berkunjung ke Hutan Kota Sangga Buana yang digagasnya, sejenak terasa sedang berada di luar Jakarta. Deretan pohon rindang berjejer sejak di lapangan parkir hutan kota itu.
Di pendopo rumahnya yang asri, Babeh Idin menerima kedatangan Plasadana. Ia bercerita tentang awal mula dan sebab-musabab mengapa melakukan konservasi tersebut.
Kata dia, hal itu bermula dari rasa marahnya terhadap kondisi lingkungan di sekitar Kali Pesanggrahan saat itu yang telah rusak dan kotor akibat ulah orang tak bertanggung jawab. Kali tersebut mereka jadikan tempat pembuangan sampah dan limbah rumah tangga.
Hal itulah yang mendorongnya untuk bertualang selama lima hari enam malam, menyusuri kali dari hulunya di Kaki Gunung Pangrango, Bogor. Jarak 136 kilometer ditempuh dengan berjalan kaki atau berakit batang pisang. Hasilnya adalah sebuah keprihatinan yang membuat darah kependekarannya bergolak serta lahirnya sebuah tekad untuk mengembalikan Kali Pesanggrahan menjadi seperti dulu lagi.
"Awalnya cuma karena prihatin, marah, jengkel, kesel, sama kondisi lingkungan saat itu," ujarnya dengan logat Betawi yang kental.
Langkah awal pun dimulai dengan membersihkan sampah. Tak mudah. Berkali-kali, katanya, harus bersitegang dengan orang-orang perumahan yang memang banyak di daerah tersebut.
"Pada awalnya banyak orang yang gak senang, terus saya disebut orang gila yang kurang kerjaan. Bahkan sempet juga ditangkep aparat karena naruh sampah di pager rumah orang yang buang sampah di kali," terangnya.
Namun, kecintaannya terhadap lingkungan sekitar menampik semua cibiran. Babeh Idin tetap teguh. Ia tetap memungut dan membersihkan sampah liar. Sejumlah pohon mulai ditanami di bantaran kali. Semua dilakukan sendiri, tanpa pamrih.
Akhirnya, berkat kesabaran dan tekad kuat, lambat laun kesadaran orang-orang gedongan tersebut mulai tumbuh. Babeh Idin mulai mengajak teman-temannya sesama petani penggarap untuk mengikuti langkahnya.
Pada 1997, Babeh Idin pun memelopori berdirinya Kelompok Tani Bambu Kuning dengan jumlah anggota 17 orang. Gagasan tersebut muncul seiring banyaknya petani yang menggarap lahan untuk usaha tani.
Paguyubannya terus berkembang, sampai akhirnya beranggota 80 orang dan berubah nama menjadi Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) Sangga Buana pada 17 Februari 1998. Organisasi swadaya ini bertahan sampai sekarang.
"Alhamdulilah sekarang udah ada puluhan ribu tumbuhan produktif di sepanjang bantaran kali. Burung-burung dan ikan-ikan yang dulu pada minggat udah pada balik lagi," ungkapnya sambil tertawa.
Pria kelahiran 13 April 1956 ini mengungkapkan, apa yang dirintisnya itu, pada akhirnya tidak sekadar merehabilitasi dan melakukan konservasi alam. Tetapi juga perlu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar bantaran kali, sehingga mereka bisa hidup dari kegiatan bertani dan berternak.
"Sekarang udah ada peternakan kambing, ayam juga kuda. Jadi lumayan buat mata pencarian dan bisa menghasilkan manfaat buat orang-orang sekitar," tambah Babeh Idin.
Kini, hasil jerih payah pria yang sering menyebut dirinya jawara itu membuahkan hasil. Bantaran Kali Pesanggrahan yang dirawatnya saat ini ramai dikunjungi banyak orang.
Selain gratis, setiap pengunjung yang datang akan diajak menanam pohon atau menebar benih ikan di kali. Mereka pun tidak dilarang memancing atau mengambil hasil hutan dan tanaman lainnya.
Ah, seandainya ada banyak Babeh Idin di Jakarta ini …
Berkat aksinya, bantaran Kali Pesanggrahan yang sebelumnya kotor dan penuh sampah menjadi taman kota yang sejuk dan asri. Jika berkunjung ke Hutan Kota Sangga Buana yang digagasnya, sejenak terasa sedang berada di luar Jakarta. Deretan pohon rindang berjejer sejak di lapangan parkir hutan kota itu.
Di pendopo rumahnya yang asri, Babeh Idin menerima kedatangan Plasadana. Ia bercerita tentang awal mula dan sebab-musabab mengapa melakukan konservasi tersebut.
Kata dia, hal itu bermula dari rasa marahnya terhadap kondisi lingkungan di sekitar Kali Pesanggrahan saat itu yang telah rusak dan kotor akibat ulah orang tak bertanggung jawab. Kali tersebut mereka jadikan tempat pembuangan sampah dan limbah rumah tangga.
Hal itulah yang mendorongnya untuk bertualang selama lima hari enam malam, menyusuri kali dari hulunya di Kaki Gunung Pangrango, Bogor. Jarak 136 kilometer ditempuh dengan berjalan kaki atau berakit batang pisang. Hasilnya adalah sebuah keprihatinan yang membuat darah kependekarannya bergolak serta lahirnya sebuah tekad untuk mengembalikan Kali Pesanggrahan menjadi seperti dulu lagi.
"Awalnya cuma karena prihatin, marah, jengkel, kesel, sama kondisi lingkungan saat itu," ujarnya dengan logat Betawi yang kental.
Langkah awal pun dimulai dengan membersihkan sampah. Tak mudah. Berkali-kali, katanya, harus bersitegang dengan orang-orang perumahan yang memang banyak di daerah tersebut.
"Pada awalnya banyak orang yang gak senang, terus saya disebut orang gila yang kurang kerjaan. Bahkan sempet juga ditangkep aparat karena naruh sampah di pager rumah orang yang buang sampah di kali," terangnya.
Namun, kecintaannya terhadap lingkungan sekitar menampik semua cibiran. Babeh Idin tetap teguh. Ia tetap memungut dan membersihkan sampah liar. Sejumlah pohon mulai ditanami di bantaran kali. Semua dilakukan sendiri, tanpa pamrih.
Akhirnya, berkat kesabaran dan tekad kuat, lambat laun kesadaran orang-orang gedongan tersebut mulai tumbuh. Babeh Idin mulai mengajak teman-temannya sesama petani penggarap untuk mengikuti langkahnya.
Pada 1997, Babeh Idin pun memelopori berdirinya Kelompok Tani Bambu Kuning dengan jumlah anggota 17 orang. Gagasan tersebut muncul seiring banyaknya petani yang menggarap lahan untuk usaha tani.
Paguyubannya terus berkembang, sampai akhirnya beranggota 80 orang dan berubah nama menjadi Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) Sangga Buana pada 17 Februari 1998. Organisasi swadaya ini bertahan sampai sekarang.
"Alhamdulilah sekarang udah ada puluhan ribu tumbuhan produktif di sepanjang bantaran kali. Burung-burung dan ikan-ikan yang dulu pada minggat udah pada balik lagi," ungkapnya sambil tertawa.
Pria kelahiran 13 April 1956 ini mengungkapkan, apa yang dirintisnya itu, pada akhirnya tidak sekadar merehabilitasi dan melakukan konservasi alam. Tetapi juga perlu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar bantaran kali, sehingga mereka bisa hidup dari kegiatan bertani dan berternak.
"Sekarang udah ada peternakan kambing, ayam juga kuda. Jadi lumayan buat mata pencarian dan bisa menghasilkan manfaat buat orang-orang sekitar," tambah Babeh Idin.
Kini, hasil jerih payah pria yang sering menyebut dirinya jawara itu membuahkan hasil. Bantaran Kali Pesanggrahan yang dirawatnya saat ini ramai dikunjungi banyak orang.
Selain gratis, setiap pengunjung yang datang akan diajak menanam pohon atau menebar benih ikan di kali. Mereka pun tidak dilarang memancing atau mengambil hasil hutan dan tanaman lainnya.
Ah, seandainya ada banyak Babeh Idin di Jakarta ini …