DISAMPING KANAN INI.............
PLEASE USE ........ "TRANSLATE MACHINE" .. GOOGLE TRANSLATE BESIDE RIGHT THIS
...................
FOKUS
LIPUTAN: Kemelut Hutan Kemenyan, Menguak Luka Warga di Tepian Danau Toba
FOKUS
LIPUTAN: Kemelut Hutan Kemenyan, Menguak Luka Warga di Tepian Danau Toba
Keesokan hari, sesudah ibadah Minggu, warga datang lebih banyak lagi. Mereka minta penebangan dihentikan. Bentrokan hampir terjadi. Kalah jumlah, warga desa pulang ke kampung. Suasana tegang.
Hari ketiga, Senin, 25 Februari 2013, pagi hari, sekitar 250 warga Pandumaan-Sipituhuta pergi ke tombak Dolok Ginjang. Kali ini sudah ada Brimob berjaga. Ada alat berat. Ada sekitar 20 pekerja TPL tengah menanam eukaliptus. Juga terdengar suara chainsaw mengaung-aung. Tiba-tiba, truk TPL pengangkut bibit dan pupuk terbakar.
Polisi curiga truk itu dibakar warga. Ada enam warga yang baru pulang dari kebun ditangkap, dimasukkan truk lalu dibawa ke kantor Polisi Resort Humbang Hasundutan. Warga lain protes. Mereka anggap polisi bertindak semena-mena.
Lewat tengah malam, di Desa Pandumaan-Sipituhuta, lonceng gereja kecil, Gereja Pantekosta di Indonesia, berdentang kuat. Teng … teng … teng …. Ia tanda peringatan berkumpul. Menurut beberapa warga, malam itu pasukan Brimob masuk desa dan menendang pintu-pintu rumah. Kapolres Humbang Hasundutan AKBP Heri Sulismono memimpin pengepungan. Rumah didobrak, lemari dirusak.
Polisi mengatakan mereka hendak menangkap pendeta Haposan Sinambela, gembala jemaat gereja Pantekosta, dan James Sinambela, tokoh masyarakat Pandumaan-Sipituhuta juga ketua dewan adat daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak. Mereka dituduh sebagai “provokator.”
Tak pelak anak-anak, yang kala itu lelap tidur, bangun terkejut dan menjerit. Suasana menakutkan kala mereka lihat ibu-ibu diseret dan dimasukkan ke sebuah rumah.
Polisi mendobrak pintu dapur rumah James Sinambela. Kamar dan lemari pakaian diacak-acak.
“Umak, umak … jahat kalian polisi. Jangan pukul umak kami,” kata Jesika Sinambela, anak James umur enam tahun, ketika melihat ibunya dibawa polisi.
Saat itu, James Sinambela berada di kebun, sekitar dua kilometer dari rumah. Dia memiliki peternakan babi. “Dapat kabar Brimob masuk kampung, saya pulang. Saya melihat perempuan, anak-anak menjerit,” katanya. Ketiga anaknya, Posma Sinambela (12), Marudut Sinambela (10), dan Jesika Sinambela, berteriak ketakutan. “Saya dibilang berondok di dalam lemari. Mereka hancurkan lemari rumah kami,” kata James.
Boru Pandiangan, salah satu perempuan desa, bercerita diseret ke sebuah rumah dengan puluhan perempuan lain. Bajunya robek. Dia menolak dan dipukul. “Aku berteriak minta ampun. Anak-anak di desa berteriak menangis, menyaksikan ibu, nenek, kakek, dan saudara mereka ditendang dan ditangkapi Brimob.”
Brimob juga mendobrak rumah Friska, seorang bapak dengan kaki cacat, yang sedang tidur. Kamar tidur hancur, warung dirusak. Barang jualan dijarah. Dari warung Friska, sempat terdengar letusan senjata api. Di sana ditemukan selongsong peluru.
Lambok Lumban Gaol, anggota AMAN Tano Batak, melihat sekitar 30 lebih perempuan disekap di satu rumah selama lebih dari empat jam. Ibu-ibu berteriak minta tolong. Mereka berdoa bersama.
“Lindungi kami Tuhanku.”
“Selamatkan warga kampung.”
Ketika polisi sudah pergi, warga kampung membuka rumah dengan merusak gembok.
Malam itu, 15 warga ditangkap polisi, termasuk James Sinambela, pendeta Haposan Sinambela, maupun si pembunyi lonceng gereja. Mereka mendekam di tahanan polisi bersama belasan warga desa yang ditangkap di hutan kemenyan. Total 31 orang ditahan polisi.
Keseokan hari 15 warga dibebaskan, 16 menjadi tersangka termasuk Haposan Sinambela dan James Sinambela.
Dalam tahanan, pendeta Haposan Sinambela tidur beralaskan tikar usang selama 11 hari. Khutbah tetap dijalankan di dalam penjara. Makanan dari polisi tak pernah disentuh. Warga desa setiap hari memasak dan membawakan makanan ke penjara. Ini solidaritas dari seluruh warga desa.
”Kami yang ditangkap bisa tetap sehat dan makanan layak.”
James Sinambela mengatakan, “Saya dua minggu dipenjara. Di dalam saya diteror, diancam dihabisi dan diminta menyerah. Saya dan pendeta dituduh sebagai provokator.” Dia tak mau menandatangani berita acara pemeriksaan polisi.
Selama mereka ditahan, warga desa terus berunjuk rasa ke kantor polisi Humbang Hasundutan. Desakan juga datang dari berbagai organisasi. Pada 11 Maret 2013, para tahanan dilepas, tetapi status mereka masih tersangka hingga kini.
Kapolres AKBP Heri Sulismono mengatakan polisi semata-mata membantu menciptakan rasa aman perusahaan dalam bekerja dan berusaha. “Bukan menakut-nakuti siapa pun. Dalam praktik, personel keamanan justru pernah dianiaya dan dilucuti senjata oleh massa,” katanya.
“Kami mengajak semua pihak tidak melanggar UU atau melanggar pidana. Silakan menyampaikan pendapat, tetapi dengan cara baik dan santun, bukan menjadi terbalik dan menimbulkan masalah baru. Yang ada bukan penyelesaian, tetapi masalah baru.”
Sampai sekarang belum jelas siapa membakar truk pembawa bibit dan pupuk. Heri Sulismono mengatakan penyelidikan masih dilakukan. Beberapa warga curiga perusahaan bakar sendiri satu mobil sebagai alasan agar Brimob bisa intimidasi warga. Haposan Sinambela mengatakan, enam warga yang dituduh membakar mobil perusahaan, saat kejadian tengah makan malam dalam hutan adat.
“Saat melepaskan warga desa yang akan menjaga hutan adat, kami mendoakan kawan-kawan. Saya berpesan jangan anarkis. Belum sampai mereka ke hutan adat, sudah ada kabar pembakaran,” katanya. Dia tak percaya keenam warga itu membakar mobil.
Mau Silumbanbatu, seorang warga yang ditangkap dan dipukul polisi di desa malam itu, beberapa bulan setelah dibebaskan meninggal dunia. Dia tampak mengalami trauma.
DARI Desa Pandumaan-Sipituhuta, naik mobil menuju “hutan tanaman industri” PT Toba Pulp Lestari, makan waktu sekitar dua jam. Di sepanjang jalan, terlihat traktor dan truk-truk besar berisi kayu ukuran besar lalu lalang. Pohon eukaliptus rapi tertanam.
Di pintu masuk penjagaan, mobil diberhentikan petugas keamanan perusahaan.
“Lao tu dia ho?” kata seorang sekuriti. Tiga pria lain berjaga-jaga.
“Nang mangalap dongan sian bagasan,” jawab seorang warga.
Sekuriti lantas mengecek barang-barang di mobil. “Jangan bawa barang-barang berbahaya dan mencurigakan,” katanya.
Dia terus mengawasi. Mobil dipersilakan jalan.
Sekitar lima menit masuk hutan, tampak hamparan tanah rata, tanpa pepohonan. Hanya ada tunggul kayu sisa tebangan. Tampak kayu-kayu tebangan siap diangkut. Begitu juga kala memasuki Register 41, wilayah hutan kemenyan. Tunggul bekas pohon kemenyan dan pepohonan lain di sana sini. Kemenyan nyaris habis berganti eukaliptus.
Sebelum TPL beroperasi di Register 14, suasana benar-benar berbeda. Menurut Lambok Lumban Gaol, warga desa yang juga anggota AMAN Tano Batak, dulu jika masuk hutan kemenyan, terasa sejuk dan segar. Kicau burung bersahut-sahutan. Tak jarang warga melihat beruang. Dulu, air jernih mengalir di sungai kecil. Kini, panas gersang. Tak ada kicau burung. Banyak ranting-ranting kayu berserakan dan bekas tebangan kayu. Sungai kecil mengering. Kering kerontang.
Riwayat berbagai hutan, serta perubahan menjadi perkebunan eukaliptus, di sekitar Danau Toba termasuk Kabupaten Humbang Hasundutan, terkait dengan riwayat seorang pengusaha asal Belawan, dekat Medan. Namanya, Tan Kang Hoo atau Sukanto Tanoto. Dia kelahiran 1949, anak pertama dari tujuh bersaudara, dari sepasang migran asal Fujian, Tiongkok. Pada 1966, ketika umur 17 tahun, Tanoto berhenti sekolah dan ikut usaha keluarga, supplier onderdil mobil ke berbagai perusahaan minyak dan gas di Medan.
Pada 1973, ketika umur 24 tahun, Tanoto mendirikan perusahaan PT Raja Garuda Mas untuk produksi plywood. “Negara kita kaya kayu, mengapa kita mengimpor kayu lapis?” katanya. Dia menyakinkan pemerintah Indonesia agar memberi izin bikin pabrik plywood. Dia berhasil dengan pabrik itu. Meningkatnya produksi plywood membuat Tanoto merasa perlu bikin perkebunan eukaliptus.
Pada 26 April 1983, Tanoto mendirikan PT Inti Indorayon Utama. Usahanya, perkebunan eukaliptus guna bikin pulp, kertas, dan rayon. Gubernur Sumatera Utara Kaharuddin Nasution setuju Tanoto bangun pabrik seluas 200 hektar di Porsea, sebuah kota Kabupaten Toba Samosir. Mereka dapat izin hak pengusahaan hutan seluas 150.000 hektar.
Namun PT Inti Indorayon Utama dituduh merampas tanah adat. Ia juga diprotes warga sekitar Danau Toba karena mencemari tanah dan air danau dengan limbah. Sungai Asahan, yang membelah Porsea, juga tercemar limbah. Pada 7 Oktober 1987, longsor menewaskan 15 orang. Longsor kedua menimpa Desa Natumingka, 16 km dari longsor pertama, 15 orang tewas.
Pada 9 Agustus 1988, penampungan air limbah Indorayon jebol ketika diadakan uji produksi. Diperkirakan sejuta meter kubik limbah mencemari Sungai Asahan. Pada Desember 1988,
Walhi mengadukan Indorayon di pengadilan Jakarta. Walhi minta izin perusahaan dinyatakan batal. Pada Agustus 1989, gugatan itu ditolak pengadilan.
Tanoto sendiri menaruh beberapa pejabat, termasuk Mayor Jenderal August Marpaung, sebagai komisaris Indorayon. Marpaung pernah memimpin Antara dan jadi dutabesar Indonesia untuk Australia. Tanoto juga berhubungan dengan Presiden Soeharto. Pabrik dan perkebunan pun berjalan lancar.
Pada Mei 1998, Presiden Soeharto, mundur sesudah berkuasa selama 33 tahun. Berbagai demonstrasi menuntut demokratisasi, reformasi dan penegakan hukum marak di Jawa, Sumatera maupun pulau lain. Struktur kekuasaan di Indonesia berubah. Tanoto kehilangan pelindung. Pada 9 Juni 1998, Gubernur Raja Inal Siregar memerintahkan operasi Indorayon berhenti setelah warta Porsea bersama ribuan mahasiswa di Medan unjuk rasa ke DPRD Sumatera Utara.
Pada 1999, zaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Menteri Lingkungan Hidup Sony Keraf akhirnya minta pabrik Indorayon ditutup. Namun Sony Keraf bukan berjuang tanpa hambatan. Menteri Perdagangan Jusuf Kalla membantah ada polusi dari pabrik Indorayon.
Selama dua tahun, terjadi tarik-menarik antara kubu Sukanto Tanoto dan warga Toba. Pada 12 Juni 2000, seorang mahasiswa ditembak mati polisi dalam protes anti-Indorayon.
Sukanto Tanoto terus mengembangkan bisnis. Dia bikin perkebunan di Riau serta bank di Jakarta. Dia pribadi pindah domisili dari Indonesia ke Singapura. Menurut website Tanoto, kini dia menguasai tujuh usaha multinasional: Royal Golden Eagle (pulp); Asian Agri (sawit); April (kertas dengan kegiatan di Riau); Asia Symbol (pulp dan kertas di Shandong dan Guangdong, Tiongkok); Apical Group (pabrik sawit); Sateri (kertas dan pulp di Brazil); serta Pacific Oil & Gas (minyak dan gas di Indonesia dan Tiongkok).
Pada 2008, majalah Forbes menyatakan Sukanto Tanoto sebagai orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan US$2.8 miliar. Kala itu, dia berusia 59 tahun ketika dinobatkan sebagai orang terkaya. Artinya, bila dihitung dari umur 17 tahun mulai bisnis, Tanoto perlu waktu 42 tahun buat jadi orang terkaya di Indonesia.
Menurut website Tanoto, kini Royal Golden Eagle, payung usaha miliknya, punya asset US$15 miliar dengan 50.000 karyawan.
Di Danau Toba, nasib Indorayon berubah ketika mereka ganti nama jadi PT Toba Pulp Lestari pada 2001. Nama Indorayon tampaknya sulit dipertahankan. Toba Pulp Lestari diam-diam operasi lagi dari Porsea zaman kepresidenan Megawati Soekarnoputri.
Angin berubah terbuka ketika Susilo Bambang Yudhoyono jadi presiden pada akhir 2004. Pada 2005, Menteri Kehutanan MS Kaban mengeluarkan surat pembagian kawasan hutan di Sumatera Utara. Indorayon melanjutkan kerja mereka namun tampil dengan nama baru Toba Pulp Lestari. Menurut MS Kaban, wilayah hutan perusahaan ini termasuk beberapa kabupaten: Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir, Simalungun, Dairi, Pakpak Bharat, dan Tapanuli Selatan serta Humbang Hasundutan.
Pada 2009, atau 11 tahun sesudah Indorayon ditutup, sengketa tanah kembali meledak. Kini, warga Desa Pandumaan-Sipituhuta yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan, mulai perlawanan terhadap perusahaan lama dengan nama baru ini.
Setelah Menteri Kehutanan MS Kaban bikin perusahaan masuk, kayu alam ditebang termasuk kemenyan. Kemenyan mati, getah berkurang. “Jikapun hidup, getah berkurang, tak bisa dikelola. Itu sangat berpengaruh terhadap pencarian warga dan alam sekitar,” kata pendeta Haposan Sinambela.
Sesaat dia terdiam. Merenung.
Kemenyan di hutan itu, katanya, sudah dikelola turun temurun. Jadi, semacam ada perjanjian dengan para leluhur, masyarakat adat harus tetap menjaga hutan. Getah kemenyan rutin disadap tanpa merusak pohon. Hutan tetap lestari.
“Hutan kemenyan tak boleh dirusak, jika terjadi, bencana alam akan terjadi. Itu sebab kami selalu menjaga, meski darah taruhan,” kata pendeta.
Menurut James Sinambela, perusahaan Sukanto Tanoto berupaya ambil hati warga dengan beri sejumlah uang. “Waktu mau kasih uang, saya tegaskan sama perusahaan, jika ini tanah negara melalui SK Menteri Kehutanan, mana mungkin menyuap rakyat demi merusak dan membabat hutan?” Sinambela menolak uang.
Dia memilih tetap berjuang mempertahankan hutan adat.
“Ini bukan untuk mencari kaya. Hanya tambahan ekonomi keluarga agar bisa sekolah dan makan,” kata James Sinambela.
DEDY SOFHIAN Armaya seorang mantan wartawan di Medan, alumnus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, yang tampaknya semangat mendukung kemerdekaan Palestina –Facebook miliknya dihiasi “Free Palestina”—dan kini jadi juru bicara Toba Pulp Lestari. Istilah resminya, corporate communication.
Armaya menerangkan semua konsesiToba Pulp Lestari ada di kawasan hutan dengan wewenang Kementerian Kehutanan. “Wargalah yang melakukan cara-cara kekerasan guna mendapatkan pengakuan lahan.”
Menurut dia, sebenarnya tersedia cara-cara damai dalam menyampaikan keberatan. Misal, melalui surat-menyurat kepada Kementerian Kehutanan. “Atau menempuh jalur hukum melalui peradilan. UU dan peraturan membuka ruang untuk itu. Klaim masyarakat dimungkinkan jadi dasar mengeluarkan areal dari konsesi atau enclave apabila memenuhi syarat.”
Armaya menuduh warga desa tak menggunakan mekanisme damai itu. Warga lebih memilih unjuk rasa, pelarangan-kerja di lapangan, intimidasi pekerja, perusakan tanaman, sampai pembakaran alat-alat kerja.
Perusahaan pun meminta pengamanan dari polisi.
Dia mengatakan tak percaya dengan klaim hutan adat. Desa Pandumaan dan Sipituhuta, katanya, bagian dari 10 desa di sekitar konsesi Toba Pulp Lestari di Sektor Tele, masuk Kecamatan Pollung. “Mereka mengklaim blok-blok kerja Toba Pulp Lestari sebagai hutan ulayat mereka, yang jaraknya dari kampung, mencapai 12 kilometer jika diambil garis lurus. Desa-desa lebih dekat, justru tidak mengklaim serupa.”
Masyarakat desa yang lain mau bekerja sama. Mereka bahkan minta pembukaan jalan agar mobilitas mereka ke pohon-pohon kemenyan jadi mudah.
Perusahaan, katanya, hanya membangun hutan tanaman industri 40 persen atau sekitar 75 ribu hektar dari konsesi. Sebenarnya, peraturan mengizinkan sampai 70 persen. “Kebijakan itu untuk menyediakan porsi lebih luas bagi kawasan lindung.”
Dedy Armaya adalah satu dari 50.000 karyawan Sukanto Tanoto. Berkedudukan di Medan, Armaya mungkin kenal Vincentius Amin Susanto, seorang akuntan Tanoto, dulu juga berkantor di Medan, yang membocorkan berbagai cara penggelapan pajak Asian Agri. Vincent membeberkan rahasia itu ke majalah Tempo pada Desember 2006 sedemikian rupa hingga laporan Tempo mendorong kantor pajak mengejar Asian Agri.
Persidangan terhadap karyawan Asian Agri, gugatan terhadap Vincent, maupun berbagai macam upaya mempengaruhi media, bahkan membeli wartawan, memakan waktu bertahun-tahun. Metta Dharmasaputra, wartawan Tempo, menulis naik turun itu dalam buku Saksi Kunci: Kisah Nyata Perburuan Pembocor Rahasia Pajak Asian Agri Group. Pada akhir 2012, Mahkamah Agung memutus Asian Agri divonis bayar dua kali pajak terhutang Rp1,259 triliun hingga total sebesar Rp2,519 triliun. Ia rekor tertinggi dalam sejarah penetapan pajak di Indonesia.
Mengapa hutan kemenyan di Register 41 ditebangi?
Dedy Armaya mengelak. Dia mengatakan perusahaan berjanji tak menebang pohon-pohon kehidupan seperti kemenyan. “Ini sumber penghasilan non-kayu bagi masyarakat sekitar hutan,” katanya.
SALAH SATU organisasi yang memperhatikan Toba Pulp Lestari adalah Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara, biasa disingkat Bakumsu, terletak di daerah Jalan Air Bersih, Kota Medan. Ia terletak dekat Kampus Universitas Muhammadiyah.
Saurlin Siagian dari Bakumsu termasuk peneliti yang ragu dengan berbagai keterangan perusahaan ini. Lewat Facebook, Siagian menaruh gambar satu ream kertas merek Paper One, produk PT Toba Pulp Lestari, dan ditulisnya keterangan, “It destroys natural forests, endemic forests, and violates human rights and Batak indigenous people at Sumatra-Indonesia.”
Siagian ingat bahwa pada 2010, sebelum dapatkan izin operasi di Desa Pandumaan-Sipituhuta, ada tim independen dari Jakarta. PT Sucofindo, sebuah perusahaan negara, salah satu lembaga penilaian. Saurlin Siagian diundang bicara tentang hutan kemenyan. Pertemuan itu juga dihadiri Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), organisasi asal Siborong-borong, Tapanuli Utara, yang mendampingi warga Toba melawan Indorayon, sejak 1980an. Kini KSPPM bermarkas di Parapat, Danau Toba. Kesimpulannya, menurut Siagian, tak boleh ada penebangan hutan kemenyan di Kecamatan Pollung termasuk Desa Pandumaan-Sipituhuta.
Kesimpulan ini ternyata tak diindahkan. Dalam rencana kerja Toba Pulp Lestari 2011, penebangan hutan tetap ada di Kecamatan Pollung.
“Saya berpikir tidak ada gunanya lembaga sertifikasi seperti Sucofindo,” kata Siagian
Warga tentu menolak Toba Pulp Lestari menebangi hutan kemenyan yang sudah dikelola 13 generasi. Warga membatalkan perjanjian kerja sama dengan perusahana karena merugikan warga. Mereka tak mengerti teknis dan detail perjanjian.
“Eukaliptus tentu bukan bidang warga desa, hingga perhitungan perhitungan yang dibuat Toba Pulp Lestari ternyata merugikan warga.”
Perusahaan tak peduli. Sejak 2009, pohon kemenyan ditebangi tanpa persetujuan warga. Konflik tak terelakkan. Bentrok aparat dan warga terjadi.
Menurut data Bakumsu, antara 2000 dan 2012, lebih dari 50 orang ditangkap polisi. “Peristiwa ini tidak pernah terjadi sebelum kehadiran TPL. Desa-desa di pinggir hutan ini aman dan damai.”
MINGGU AWAL Januari 2014, Desa Pandumaan-Sipituhuta, terasa sejuk dan berkabut. Suhu sekitar 16 derajat Celcius. Warga desa mulai bekerja. Ada yang bersiap ke hutan kemenyan. Ada berangkat ke sawah.
Kebanyakan laki-laki dewasa bekerja sebagai petani kemenyan. Setiap Senin, mereka berangkat ke tombak dan tinggal untuk menoreh getah atau manige. Mereka membawa persediaan makan dan minum buat di hutan. Di sana, warga tidur dan istirahat di pondok. Mereka pulang ke desa pada Kamis, Jumat atau Sabtu. Pada hari-hari itu, di desa kebanyakan perempuan dan anak-anak.
“Sekarang, tak terlalu dingin. Dulu, pukul 06.00, kita harus pakai sarung tangan dan selimut tebal. Sekarang hutan sudah habis diganti eukaliptus, ” kata Lambok Lumban Gaol.
Tak mudah perjalanan menuju hutan Kemenyan. Dari perkampungan menuju tepian hutan memerlukan sekitar satu jam. Belum lagi, masuk ke dalam, biasa perlu waktu antara enam hingga tujuh jam. Melewati rawa, dan jurang terjal.
“Kalau masyarakat tak sayang hutan, pasti membuat jalan lebar yang bisa dipakai menaiki sepeda motor. Itu tidak dilakukan. Mereka memilih jalan ke hutan selama enam hingga tujuh jam, asal hutan tidak rusak,” katanya.
Menurut penelitian AMAN, luas tombak haminjon atau hutan kemenyan sekitar 4.100 hektar. Ia berisi tanaman kemenyan budidaya beserta tanaman lain. Warga desa Pandumaan dan Sipituhuta diperkirakan bekerja di hutan ini sejak 300 tahun lalu.
Dalam adat Batak, setiap generasi ada tingkatnya. Sinambela pangkat sekian atau Lumban Gaol pangkat sekian. Mudah buat mereka menghitung berapa generasi sudah tinggal di suatu tempat.
Tombak Haminjon berada di tiga area masing-masing bernama Tombak Sipiturura, Dolok Ginjang, dan Lombang Nabagas. Marga-marga awal, yang membuka perkampungan dan hutan kemenyan, terdiri dari marga turunan Marbun: Lumban Batu hingga sekarang sudah 13 generasi dan Lumban Gaol ada 13 generasi. Borubus sebagai marga boru yakni Nainggolan dan Pandiangan sudah 13 generasi. Lalu, keturunan Siraja Oloan, yakni marga Sinambela, Sihite, Simanullang, masing-masing 13 generasi. Ditambah marga pendatang, yakni Munthe dan Situmorang, selama tiga generasi sudah tinggal di dua desa itu.
Komunitas inilah yang membuka perkampungan dan kawasan tombak haminjon ini. Mereka mewariskan turun-temurun hukum adat. Batas-batas kepemilikan komunitas dua desa ini juga ditentukan sesuai kebiasaan atau hukum adat.
Letak kedua desa, Pandumaan-Sipituhuta, bersebelahan. Luasnya, sekitar 6.500 hektar terbagi atas 2.400 hektar wilayah desa, 4.100 hektar hutan kemenyan. Masyarakat adat di dua desa, total 700 keluarga, mayoritas mencari nafkah dari tombak haminjon.
Kini, hutan adat mereka masuk dalam konsesi Toba Pulp Lestari. Berbagai upaya dilakukan masyarakat, mengadukan persoalan dari kabupaten sampai Jakarta.
Pada 5 Agustus 2011, Dewan Kehutanan Nasional (DKN), sebuah lembaga negara yang menjadi forum komunikasi pemerintah, pengusaha maupun organisasi pembela masyarakat sekitar hutan, merekomendasikan agar desa Pandumaan dan Sipituhuta dikeluarkan dari konsesi Toba Pulp Lestari.
Ia juga sesuai keputusan DPRD Humbang Hasundutan pada 2012 tentang Toba Pulp Lestari.
Menurut Bangun Silaban, ketua DPRD Humbang Hasundutan, dewan telah bertemu masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. Permasalahannya pelik. Banyak pertimbangan. “Intinya, sebagai wakil rakyat yang dipilih langsung rakyat, dewan wajib membela yang benar.”
Pada 19 Juni 2012, DPRD Humbang Hasundutan minta pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan mencabut atau merevisi SK Menteri Kehutanan MS Kaban No. 44 tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan wilayah Sumatera Utara.
Rekomendasi lain, mengusulkan kepada Menteri Kehutanan revisi batas areal kerja usaha pemanfaatan hasil hutan Toba Pulp Lestari di Humbang Hasundutan. Keputusan ini, berdasarkan hasil pengukuran bersama antara pemerintah kabupaten, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, serta masyarakat.
DPRD Humbang Hasundutan juga merekomendasikan pemerintah Humbang Hasundutan sementara waktu melarang Toba Pulp Lestari operasi di lahan bermasalah sampai ada keputusan bersama. “Kami harap ada solusi menyelesaikan masalah ini agar tidak berlarut-larut. “Sudah dua tahun berjalan belum juga ada titik temu,” kata Silaban.
Bupati Maddin Sihombing, birokrat dari Partai Golongan Karya, segera menyurati Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, yang menggantikan posisi M.S. Kaban pada periode kedua Presiden Yudhoyono, untuk mengeluarkan dua desa itu dari konsesi perusahaan.
Persoalannya, menurut Sihombing, izin konsesi hutan ada di tangan Kementerian Kehutanan, hingga seorang bupati tak bisa berbuat banyak. Begitu juga soal penghentian kegiatan Toba Pulp Lestari.
“Silakan tanya ke Menhut soal itu. Yang jelas kami sudah melaksanakan berbagai cara menyelesaikan masalah ini, ” kata Sihombing.
Mungkin dalam bayangan Maddin Sihombing, dia hanya seorang birokrat, politikus dengan modal kecil, tak sanggup membela warga, kala berhadapan dengan taipan internasional sekelas Sukanto Tanoto.
PADA September 2013, 10 warga Desa Pandumaan-Sipituhuta, diantar oleh AMAN, datang ke kantor Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di bilangan Senayan, Jakarta. Kementerian ini termasuk kementerian gemuk sejak zaman Presiden Soeharto. Nama gedungnya, Manggala Wanabakti, bersebelahan dengan gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
“Harapan kami memperjuangkan tanah adat hanya untuk melanjutkan hidup. Hidup sederhana bukan hidup bermewah – mewah,” kata Rusmedia Lumban Gaol.
Dia datang bersama sembilan wakil warga Pandumaan Sipituhuta ke Jakarta. Bagi mereka tak mudah datang ke Jakarta. Mereka iuran Rp10.000 per keluarga dari sekitar 700 keluarga dari dua desa itu.
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan dari Kementerian Kehutanan Bambang Hendroyono menerima delegasi. Hendroyono alumnus Institut Pertanian Bogor. Dia belajar kehutanan ketika mahasiswa dan merintis karir di Kementerian Kehutanan.
Dalam pertemuan itu, Hendroyono juga mengundang wakil pemerintah Humbang Hasundutan dan manajemen Toba Pulp Lestari.
“Kita kumpul cari solusi. Saya ingin dengar dan bahas mengenai kemitraan. Mari kepala dingin,” kata Hendroyono.
Dari warga, tak satupun yang mau membahas kemitraan. Tujuan mereka bulat: kembalikan hutan adat, hutan kemenyan mereka.
Rusmedia Lumban Gaol kukuh. “Kami tidak ingin jadi budak kalau hak tanah adat kami diambil. Lebih baik kami makan rumput asal jangan jadi budak TPL.” James Sinambela meminta pemerintah mengeluarkan hutan kemenyan dari konsesi Toba Pulp Lestari. “Tolong bapak revisi izin yang Bapak berikan agar tak ada bentrokan Toba Pulp Lestari dan masyarakat.”
Namun, kemitraan seakan sudah agenda mati Hendroyono. Pemerintah telah memberikan izin kepada Toba Pulp Lestari. Dia merasa wajib menjaga kelangsungan investasi ini. “Kita berbicara dalam konteks hutan produksi. Soal kelestarian hutan itu tanggung jawab perusahaan sebagai pemegang izin. Untuk kelangsungan usaha, itu tanggung jawab pemerintah.”
“Jaminan hukum diberikan pemerintah, dibuktikan dengan waktu usaha HTI bisa 60 tahun. Jaminan lain kepastian perusahaan bisa menjalan usaha.”
Hendroyono tahu ada rekomendasi Dewan Kehutanan Nasional dan DPRD Humbang Hasundutan. “Surat dari DKN dan bupati itu hanya kita pegang sebagai referensi. Tidak kita pertimbangkan.”
Saat ini, katanya, solusi terbaik yakni kemitraan. Pola kemitraan, katanya, tinggal sosialisasi kepada masyarakat, agar mereka tak terpengaruh LSM. “LSM mestinya membantu Kemenhut menenangkan masyarakat. DKN juga harusnya seperti itu. Jangan ngotot-ngototan terus. Lihat aturan.”
Dia mengacu pada UU Kehutanan Pasal 67, yang mengisyaratkan keberadaan masyarakat adat lewat peraturan daerah. “Pemerintah juga tidak diam. Kita terus memacu dan membahas ini.”
Kalaupun tidak ada peraturan daerah, katanya, masyarakat diminta bersabar karena rancangan UU Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, masih dibahas. “Itu akan dijadikan dasar dan solusi ke depan. Jangan ribut-ribut, terus memecah belah. Kawasan hutan tetap kawasan hutan. Ada disitu hutan adat, hutan negara, ayo sama-sama dikelola.”
Kala Hendroyono ke Desa Pandumaan-Sipituhuta itu, keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai hutan adat bukan bagian hutan negara, baru keluar. Dialog dengan masyarakat diwarnai berbagai perdebatan. Masyarakat adat berpegang teguh tetap ingin mengelola hutan berdasarkan konsep hutan adat.
Hendroyono mengatakan keputusan itu belum bisa dijalankan. Kementerian Kehutanan tak bisa begitu saja cabut izin. “Apa dasar saya nyabut? Kami punya azas keberlangsungan usaha. Kami harus menjamin hukum disitu. Izin sudah keluarkan, mereka memenuhi syarat. Maka kami harus juga menjamin keberlangsungan usaha mereka.”
Bagaimana soal Toba Pulp Lestari yang terlanjur menebang pohon kemenyan warga?
“Itu kemenyan dari zaman nenek moyang. Maaf kata, bukan membela perusahaan. Banyak yang sudah turun produksi. Kalau ada LSM yang membela, ayo kita lihat ke lapangan. Mana kemenyan? Saya sudah lihat langsung.”
“Itu kemenyan sudah tua. Kalau pun perusahaan menebang, itu perusahaan tidak salah. Karena kemenyan itu produksi juga sudah menurun. Mustinya yang sudah ya sudahlah.”
Tampaknya, Bambang Hendroyono lupa bahwa pemerintah Indonesia, termasuk Kementerian Kehutanan, juga wajib melindungi hak-hak warga negara, termasuk desa Pandumaan dan Sipituhuta.
Celakanya, Bupati Maddin Sihombing ikut mendorong program kemitraan yang digadang-gadang Hendroyono.
Hendroyono pergi ke Medan. Ada pertemuan dengan Gubernur, Polda, Polres Humbang Hasundutan, Dinas Kehutanan, perwakilan masyarakat, dan Toba Pulp Lestari. Hasilnya, kesepakatan membentuk kemitraan antara perusahaan. Masyarakat memperoleh kesempatan mengambil hasil hutan non-kayu, dan operasional perusahaan membangun HTI bisa jalan.
Bupati Maddin Sihombing anggap solusi itu kompromi yang bisa diterima. “Itu harus dijalankan. Ada dua desa tidak setuju, Pandumaan dan Sipituhuta. Ini masih terus diupayakan agar sama-sama tidak dirugikan,” ucap Sihombing.
Menurut Heppy Silitonga, kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Humbang Hasundutan, dalam pertemuan soal kemitraan antara 10 warga desa dengan perusahaan. Hasilnya, delapan desa setuju kemitraan. Ada dua desa tak setuju. Mereka bertahan.
Delapan desa yang setuju termasuk desa Pansur Batu, Aek Nauli I, Aek Nauli II, Hutajulu, Hutapaung, Simataniari, Habinsaran dan Sionam Hudon Timur. Dua desa tetap bertahan di lahan hutan adat: Desa Pandumaan dan Sipituhuta. “Nah, inilah yang terus bergejolak dan konflik.”
Menurut Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, aturan memungkinkan jika sejarah keberadaan masyarakat adat jelas. Dua desa bisa dikeluarkan dari konsesi. “Kita akan lihat kasusnya dengan jernih dan sistem yang ada berjalan.”
Namun, hingga kini, kementerian terkesan memaksakan penyelesaian lewat pola kemitraan. Setidaknya, posisi Bambang Hendroyono, yang jadi posisi kementerian.
SEJARAH mungkin terulang kembali. Dulu Inti Indorayon Utama dilawan dari Siborong-borong lalu ke Medan dan Jakarta. Persoalan Toba Pulp Lestari juga merembet ke Jakarta.
Andiko Sutan Mancahyo, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) juga anggota Dewan Kehutanan Nasional, heran dengan paksaan kemitraan Bambang Hendroyono.
Rekomendasi DKN ada tiga skenario. Pertama, ada daerah dilepaskan dari kawasan hutan karena tumpang tindih dengan hutan adat masyarakat. Kedua, yang dilepaskan dari izin karena wilayah masyarakat adat. Jadi, kedua hal itu izin bukan di kawasan yang seharusnya, jadi harus dikurangi. Ketiga, izin keluar di kawasan produksi hingga harus dipotong.
Andiko tak mengerti mengapa tiga skenario itu tak diperhitungkan. “Itu masalahnya yang saya juga tidak mengerti. Mestinya di atas kertas itu gampang diselesaikan. Ada pilihan-pilihan kok di situ. Tapi Kemenhut kan menginginkan semua dimitrakan.”
Kemitraan tak bisa dipaksakan seperti itu. Kondisi ini, katanya, tak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat ekonomi juga soal magis religius masyarakat di sana. Masyarakat adat, memandang hutan kemenyan itu tidak hanya dalam konteks ekonomi, juga nilai budaya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga mengirim orang ke Pandumaan dan Sipituhuta. Komnas HAM minta Kementerian Kehutanan melihat bukan sekadar kontrak tapi persoalan lebih mendasar. “Bahwa hak masyarakat atas wilayah adat itu hak asasi yang tak bisa diperlakukan seperti mobil yang bisa gonta ganti,” kata Sandra Moniaga dari Komnas HAM.
Moniaga heran karena DKN sudah rekomendasi agar kedua desa dikeluarkan dari konsesi tapi tak digubris. “Rekomendasi DKN itu sangat sejalan dengan prinsip-prinsip HAM. Tapi kan gak dijalanin Kemenhut.”
Menurut Moniaga, ketika datang ke Humbang Hasundutan, masyarakat tak punya gambaran lengkap tentang konsesi Toba Pulp Lestari. Seharusnya, ada proses dimana areal Toba Pulp Lestari dibuka ke publik lalu dibuat agenda konsultasi per desa dan ada verifikasi wilayah.
“Apakah ini di wilayah adat atau nggak? Kalau ada di wilayah adat, ya harus ada kesepakatan. Kalau masyarakat gak mau ya harusnya keluar. Kalau mereka setuju kemitraan, ya silakan kemitraan. Setiap masyarakat kan pandangan berbeda-beda.”
Martua Sirait, peneliti dari International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan juga anggota DKN, merasa konflik sulit teratasi karena Kementerian Kehutanan jadi mediator penyelesaian sengketa atas kesalahan sendiri. “Pembenahan tata kelola hutan harus meninggalkan conflict of interest Kemenhut itu sendiri,” katanya.
Menurut Sirait, sengketa Toba Pulp Lestari merupakan salah satu contoh nyata izin kepada perusahaan diberikan pada kawasan hutan yang baru ditunjuk dan belum ditetapkan. “Sampai saat ini belum selesai tata batasnya.”
Pemerintah, katanya, memberikan izin pada tanah tanah produktif masyarakat, berupa budidaya kemenyan yang sudah berlangsung 300 tahun.
Abdon Nababan, sekretaris jenderal AMAN, menilai konflik terjadi karena keputusan Menteri Kehutanan MS Kabar tahun 2005. “Itu hutan masih penunjukan, belum dikukuhkan. Tapi di atas kawasan hutan itu dikeluarkan izin konsesi HTI untuk TPL. Akhirnya, konflik berkepanjangan.”
Kementerian Kehutanan salah tafsir soal UU Kehutanan. Ini diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 yang jelas menerangkan bahwa kawasan hutan masih penunjukan belum mempunyai status hukum tetap. Jadi, tak boleh keluar izin apapun sebelum tata batas selesai.
“TPL salah satu contoh penunjukan kawasan hutan dan langsung diberikan izin yang bermasalah. Bukan hanya bermasalah dari segi hukum tapi bermasalah dengan masyarakat adat, pemimpin wilayah itu.”
Bagaimanapun, hutan adat harus ada kejelasan. Jika tidak, gejolak akan terus terjadi. Kini, di Pandumaan-Sipituhuta, konflik masih terbuka, bara masih menyala.
Sejarah Sukanto Tanoto dengan Indorayon mungkin akan terulang lagi dengan Toba Pulp Lestari. Tanoto ada di Singapura, sementara warga desa di Humbang Hasundutan, kesusahan, karena hutan kemenyan mereka dibikin hancur.
http://www.mongabay.co.id/2014/04/01/kemelut-hutan-kemenyan-menguak-luka-warga-di-tepian-danau-toba/