DISAMPING KANAN INI.............
PLEASE USE ........ "TRANSLATE MACHINE" .. GOOGLE TRANSLATE BESIDE RIGHT THIS
....................
Pemerintah
Dinilai Tak Serius Urus Pengakuan Hutan Adat
Pemerintah
Dinilai Tak Serius Urus Pengakuan Hutan Adat
Kekecewaan masyarakat adat terhadap ketakseriusan pemerintah ini disuarakan dalam sejumlah aksi sekaligus memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara sekaligus hari lahir Aliansi Mansyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke 15, jatuh pada 17 Maret 2014. Aksi di berbagai daerah termasuk Maluku Utara dan Sulawesi Selatan.
Di Ternate, Malut, seratusan warga dari sejumlah perwakilan komunitas adat dan aktivis tergabung dalam Koalisi Pendukung Hutan Adat Malut unjuk rasa di sejumlah titik di Ternate, antara lain Dinas Kehutanan Malut, RRI Ternate dan Pasar Gamalama.
Mereka menuntut pembubaran Kementerian Kehutanan dan mendesak pemerintah segera mengimplementasikan Keputusan MK No 35/PUU-X/2012.
“Hampir satu tahun, , Kementerian dan Dinas Kehutanan tak berbuat apa-apa. Seakan tak ikhlas melaksanakan putusan ini,” kata Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut kepada Mongabay, Senin (17/3/14).
Hingga saat ini Dinas Kehutanan Malut terus berjanji menindaklanjuti keputusan MK ini, tetapi janji tak juga terwujud. “Sampai kapan janji itu dibuktikan? Tak ada kejelasan sama sekali. Karena inilah kemudian kami menuntut agar Kemenhut dibubarkan karena tak becus mengurus hutan dan tak ikhlas mengimplementasikan putusan MK 35.”
Aksi juga mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU Perlindungan Masyarakat Hukum ADAt dan perda tentang masyarakat adat.
Menurut Munadi, selama ini hampir seluruh hutan di Malut dijadikan kawasan hutan negara. Tak ada satu pun diberikan kepada masyarakat adat. Yang terjadi, pemberian konsesi pengelolaan kepada investor tambang, HPH, HTI dan sawit.
“Mereka lebih memilih memberikan hutan untuk investor dibandingkan kepada masyarakat yang sebenarnya pemilik sah hutan itu.”
Munadi juga mengkritik kinerja Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, diibaratkan pesulap yang dengan gampang menunjuk peta untuk menetapkan suatu wilayah menjadi kawasan hutan. Padahal, mungkin di wilayah itu hutan milik masyarakat adat.
“Konflik terjadi dimana-mana. Kriminalisasi masyarakat yang menuntut hak atas hutan, penangkapan oleh polisi ketika membuka kebun di dalam kawasan hutan serta penyerobotan lahan masyarakat oleh investor tambang dan sawit menjadi rahasia umum di Malut.”
Masri Anwar, Biro Advokasi AMAN Malut, juga koordinator lapangan aksi mengatakan, aksi itu merupakan akumulasi berbagai permasalahan di masyarakat adat.
Di Malut terdapat 345 izin usaha tambang untuk eksplorasi dan eksploitasi, dan dua blok Kawasan Taman Nasional, yaitu KTN Aketajawe dan Lolobata.
Menurut Masri, saat ini Malut memiliki 48 komunitas adat tergabung dalam AMAN Malut. Kondisi mereka relatif sama, rentan ancaman pengusiran dan kriminalisasi. Mereka pun kesulitan mengakses hutan-hutan tempat menggantungkan hidup selama ini.
Komunitas adat yang terancam antara lain, Suku Sawai, terletak Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah. Mereka berdiam di sejumlah desa antara lain Desa Lelilef Woi Bulan, Sagea, Gemaf, Lelilef Sawai, Kobe, Sidanga, Weda, Fritu, Wale, Messa dan Dote, dengan populasi diperkirakan sekitar 10.000 jiwa.
Tak hanya minim perhatian pemerintah daerah, mereka juga terancam pertambangan nikel di daerah itu, yang mematok tanah hingga puluhan ribuan hektar.
Di Sulawesi Selatan, peringatan HKMAN dipusatkan di dua titik, yaitu di Palopo dan Kabupaten Sinjai. Di Palopo, aksi oleh seratusan perwakilan masyarakat adat se-Tana Luwu dan Organisasi Mahasiswa se-Kota Palopo tergabung dalam Front Gerakan Bersama.
Perwakilan mereka diterima Ketua DPRD Kota Palopo, Tasik dan sejumlah pimpinan DPRD Kota Palopo lain. Mereka berjanji menindaklanjuti tuntutan ini.
Menurut Mahir Takaka, Deputi III Pengurus AMAN Pusat, sejak lima belas tahun gerakan masyarakat adat nusantara dideklarasikan di Hotel Indonesia Jakarta, ada beberapa perubahan kebijakan terkait masyarakat adat. Salah satu keputusan MK 35.
Hanya, pemerintah seakan tidak serius dalam implementasi kebijakan ini. Kemenhut justru mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertentangan dengan Putusan MK.35 dan terkesan menunda pembahasan RUU PMHA.
“Bahkan, Kemenhut menggunakan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat, salah satu konflik masyarakat Ba’tan di dataran tinggi Palopo yang berkonflik dengan BKSDA.”
Untuk itu, hadir disini meminta DPRD dan pemerintah berkomitmen melaksanakan putusan MK 35 tentang hutan adat ini. Tasik berjanji segera menindaklanjuti tuntutan ke pihak-pihak terkait.
Pimpinan DPRD Palopo dalam kesempatan itu juga menandatangani petisi MK 35, yang dilanjutkan penandatangan surat dukungan percepatan pengesahan RUU PHMA yang ditandatangani langsung ketua, wakil I, ketua dan anggota komisi I DPRD Palopo.
Bata Manurung, Ketua PB Aman Tana Luwu, mengapresiasi perhatian dan dukungan DPRD Palopo. Dukungan itu, segera diserahkan kepada DPR Pusat. “Surat dukungan percepatan pengesahan RUU dan petisi MK 35 ini akan dikirim ke pansus DPR dan Kemenhut. Ini sebagai bukti aspirasi daerah.”
Aksi serupa di Kabupaten Sinjai. Gerakan Rakyat Tolak Tambang Bonto Katute (Gertak) mendesak pemerintah menghentikan kriminalisasi warga yang tinggal di sekitar hutan adat. Mereka juga menolak penentuan tapal batas hutan lindung secara sepihak dan tidak partisipatif. Mereka mendesak pemerintah segera melakukan pemetaan partisipatif untuk kawasan hutan lindung, sebagai bagian dari implementasi putusan MK 35.
Wahyullah, juru bicara Gertak, menuding pemerintah selama ini lebih perduli pada kepentingan segelintir pengusaha tambang dibanding kepentingan warga. Terbukti, dengan kasus pengusiran dan kriminalisasi warga.
Harus Jalankan Putusan MK
Sementara itu, Komnas HAM meminta pemerintah daerah aktif berkoordinasi dengan lembaga pemerintah lain dalam menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35 Tahun 2013, mengenai hutan adat bukan hutan negara. “Pemerintah daerah tak harus menunggu pusat dulu baru mengurusi masyarakat adat, misal, tak harus setelah lahir UU Perlindungan Masyarakat Adat,” kata Nur Kholis, komisioner Komnas HAM, dihubungi Rabu(19/3/14).
Dia mengatakan, Kementerian Kehutanan seharusnya menghormati Keputusan MK No 35, hingga tidak sweeping di kawasan hutan yang diklaim sebagai hutan negara. Kemenhut diminta bermusyawarah dengan masyarakat adat. “Hal dilakukan selama proses pemetaan hutan adat di suatu wilayah selesai dilakukan, dan ditetapkan secara hukum,” katanya.
Kepolisian, juga harus menghormati Keputusan MK ini. “Mereka jangan lagi menangkap atau memproses hukum masyarakat adat yang masuk ke wilayah hutan. Mereka harus tahu betul mengenai status hukum hutan. Jangan hanya berdasarkan klaim sepihak dari Kehutanan. Banyak hutan baru tahap penunjukan belum penetapan.”
Komnas HAM, katanya akan aktif memonitoring wilayah yang berpotensi konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah maupun perusahaan.
Kasus Suku Semende
Sementara itu, Mualimin Pardi Dahlan, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), menjelaskan, selama 2013, tercatat lebih kurang 203 masyarakat adat ditangkap dan ditahan kepolisian dengan tuduhan merambah atau merusak hutan negara.
“Salah satu kasus yang kita dampingi yakni empat warga adat Semende di Bengkulu. Mereka dituduh merambah hutan.”
Empat warga ini, ditangkap tim Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Polres Kaur pada 23 Desember 2013. Kini, diadili di Pengadilan Negeri Kelas II Bintuhan Kabupaten Aur Bengkulu. “Ini jelas sekali kriminalisasi terhadap masyarakat adat.”
Menurut dia, seharusnya mereka tidak diproses hukum. Justru yang harus dilakukan membahas soal status hutan yang diklaim masuk TNBS itu. “Apalagi ada keputusan MK 35 yang mengakui hutan adat. Dalam kondisi ini pengadilan harus membebaskan mereka dari berbagai tuntutan,” kata Mualimin.
Penuntut Umum Heri Antoni, mendakwa keempat warga Semende melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri dalam kawasan hutan sebagaimana ketentuan Pasal 92 Ayat (1) huruf b Jo. Pasal 17 ayat (2) huruf a Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Laporan dari Makassar dan Palembang.