Top Menu

Perdagangan Satwa Dunia Maya Masih Marak---T-REC semarang--komunitas reptil semarang

....SILAHKAN MENGGUNAKAN " MESIN TRANSLATE "..GOOGLE TRANSLATE 
DISAMPING KANAN INI.............



PLEASE USE ........ "TRANSLATE MACHINE" .. GOOGLE TRANSLATE BESIDE RIGHT THIS


....................



Perdagangan Satwa Dunia Maya Masih Marak



Perdagangan Satwa Dunia Maya Masih Marak




Trend perdagangan satwa melalui online atau media sosial berbasis internet, saat ini semakin gencar dilakukan pasca maraknya penggerebekan atau razia pedagang satwa liar dilindungi di pasar-pasar burung. Hal itu dibuktikan dengan tertangkapnya tersangka bernama Maulana, saat hendak memperdagangkan 12 satwa liar dilindungi oleh BKSDA wilayah III Jember, Polres Jember dan dibantu tim relawan atau Ranger ProFauna Indonesia.

Diutarakan oleh Bayu Sandi dari ProFauna Indonesia, sejak 2014 ini perdagangan satwa semakin banyak beralih dari moedel konvensional atau jual beli langsung di pasar, menjadi perdagangan melalui media sosial berbasis internet yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
“Setelah banyak razia, tren perdagangan satwa liar beralih ke internet, awalnya dari kaskus kemudian saat ini ke Facebook. Sejak Januari 2014 di Kaskus suah mengalami penurunan jumlah penjualan satwa liar, dan di Facebook banyak sekali ditemui forum-forum pecinta satwa dan juga jual beli satwa liar,” terang Bayu Sandi kepada Mongabay-Indonesia.
Pada Kamis (3/4) sore, tim gabungan yang terdiri dari Kepolisian Resor Jember, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah III Jawa Timur di Jember, serta Tim Ranger ProFauna Indonesia menangkap Maulana, pelaku perdagangan satwa melalui media sosial berbasis internet Facebook.
Pria 40 tahun ini merupakan warga jalan Kalimantan, Lingkungan Tegal Boto, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember, ditangkap setelah sebelumnya dilakukan pengintaian, pemancingan dan penawaran.
“Barang bukti yang diamankan di Polres Jember seperti lutung jawa (Trachypithecus auratus), burung alap-alap (Falconidae), elang jawa (Nisaetus bartelsi), dan bajing raksasa atau jelarang (Ratufa bicolor),” ungkap Bayu Sandi.

Berkembangnya teknologi saat ini telah disalahgunakan sebagai salah satu cara untuk memperjualbelikan satwa liar dilindungi, serta untuk menghindari kejaran atau penangkapan oleh aparat polisi hutan dan BKSDA. Penggunaan media sosial seperti Facebook menurut Bayu Sandi, menjadi cara yang dianggap aman bagi penjual satwa untuk tetap meneruskan aksinya tanpa harus khawatir ditangkap.
“Untuk amannya pembjual itu menggunakan teknologi agar penjualannya aman. Penjual satwa mulai berpikir untuk tidak sembrono menjual secara terang-terangan, maka dipilihnya kaskus, kemudian BBM dan FB, FB itu yang paling gampang,” kata Bayu.
Pantauan ProFauna di lapangan, terjadi penurunan yang cukup signifikan terhadap model penjualan satwa liar secara langsung di pasar burung. Sejak 2014 ini pantauan di Jakarta, Medan dan Bali, sangat sulit diperoleh satwa liar dilindungi dijual di pasar. Kalau pun ada, pembeli harus mengenal secara dekat, atau harus secara intensif memantau tempat-tempat yang diperkirakan menjual satwa liar.
“Kalau di Jatinegara yang terkenal blak-blakan menjual kukang, lutung, penyu, itu sekarang tidak bisa saya temukan. Tapi kalau di Facebook sekarang semakin tinggi, setiap hari selalu ada satwa yang ditawarkan,” ujarnya lebih lanjut.

Perpindahan model penjualan dari konvensional ke online, menurut Bayu menandakan masih cukup banyaknya satwa yang ditangkap dari alam, untuk selanjutnya diperjualbelikan kepada masyarakat yang tidak mengenal batas wilayah. Perdagangan melalui online atau situs jejaring sosial berbasis internet menandakan lebih tertatanya sistem perdagangan satwa yang terorganisir, yang memungkinkan pembeli tidak bertemu secara langsung dengan penjual, sehingga memperkecil penangkapan oleh aparat penegak hukum.
“Sebenarnya satwa yang dijual masih cukup banyak, untuk satwa dilindungi saja dalam 1 hari di 1 grup jual beli satwa di Facebook, itu bisa mencapai 5 hingga 15 satwa yang ditawarkan dengan jenis yang berbeda,” Bayu menambahkan.
Beberapa satwa liar dilindungi yang paling banyak ditawarkan ujar Bayu, antara lain kucing hutan, lutung, serta jenis-jenis elang dan alapalap. Jumlah penjual diperkirakan sekitar 10 orang, yang memiliki beberapa akun Facebook atau media sosial lainnya untuk memperdagangkan satwa.
“Kalau penjualnya itu-itu saja, sekitar 10 orang yang menawarkan, dan 10 orang ini punya profil Facebook yang berbeda-beda, tetapi gambar yang diupload sama. Mereka menggunakan berbagai teknik agar lolos dari pantauan polisi,” ucapnya.

Beberapa kawasan konservasi dan taman nasional di Jawa Timur menjadi sasaran perburuan satwa liar, yang nantinya akan diperdagangkan kepada peminat atau kolektor yang tersebar di berbagai daerah atau provinsi serta luar negeri. Satwa itu nantinya akan dikirim melalui jasa pengiriman barang atau ekspedisi, sehingga memperkecil kemungkinan terdeteksi pihak berwajib.
Maulana terancam dijerat Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Sementara itu menurut Kepala BKSDA Wilayah III Jember, Sunandar Trigunajasa, satwa yang diperdagangkan Maulana merupakan hasil tangkapan yang berasal dari tangkapan alam di beberapa wilayah konservasi, seperti Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Alas Purwo, dan Taman Nasional Baluran.
“Ya masih didalami lagi, untuk mengungkap pemasoknya, juga pengepul bear atau pembelinya,” kata Sunandar.
Perdagangan satwa yang marak melalui online atau media sosial menurut Bayu, dipengaruhi oleh banyaknya permintaan akan satwa liar. Banyaknya kelompok-kelompok atau komunitas pecinta satwa, menjadi pemicu penangkapan satw aliar akibat banyak yang ingin menjadikan satwa liat itu binatang peliharaan.
“Tidak hanya di Surabaya, di semua tempat termasuk Malang. Kita sempat komunikasi dengan pecinta satwa, salah satunya melakukan penyuluhan. Tapi kami tidak bisa lebih dari itu, karena penyitaan hanya dilakukan dengan ketentuan undang-undang,” tukas Bayu Sandi.

Ranger ProFauna Indonesia
ProFauna Indonesia meresmikan pembentukan Ranger pada 31 Maret 2014, yang terdiri dari 10 orang relawan terpilih. Ranger ProFauna Indonesia itu bertugas di Jawa Timur, yang fokus melakukan pengawasan dan pemantauan praktek perburuan serta perdagangan satwa di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Alas Purwo, Baluran dan Meru Betiri. Dari 10 orang Ranger, 5 orang terlibat langsung dalam upaya pengungkapan dan penggerebekan Maulana, pelaku perdagangan satwa liar dilindungi.
Ranger kita ada 5 orang dari ProFauna, yang diturunkan 3 orang, tugasnya orang pertama sebagai pemancing, 2 backup, 2 lagi melakukan recording atau perekaman,” tutur Bayu Sandi.
Pembentukan Ranger ini kata Bayu, didasari keprihatinan adanya fakta bahwa polisi hutan di taman nasional dan di cagar alam kurang bekerja secara maksimal, sehingga pada hari tertentu pemburu bisa keluar masuk dengan  bebas untuk mengambil binatang buruan, menembaki hewan-hewan di taman nasional dan merupakan taman konservasi, yang sebetulnya tidak boleh dilakukan perburuan satwa oleh manusia.
“Ini bentuk keprihatinan, sehingga diharapkan dengan ProFauna membentuk Ranger ini, para aparat penegak hukum semakin termotivasi dan tersemangati,” kata Bayu Sandi menjelaskan.





 

 
 

Share this:

 
Designed By OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates