DISAMPING KANAN INI.............
PLEASE USE ........ "TRANSLATE MACHINE" .. GOOGLE TRANSLATE BESIDE RIGHT THIS
..................
Penyelundupan
Ratusan Batang Kayu Bakau Digagalkan
Sayangnya, ketika penyergapan supir beserta dua kondektur berhasil kabur. Identitas pelaku belum diketahui. TR Nainggolan, kepala Satpol Kehutanan, mengatakan, penangkapan itu bermula dari informasi masyarakat. Masyarakat mencurigai kayu bakau itu rambahan hutan mangrove di Asahan, yang berdekatan dengan Pelabuhan Kota Tanjung Balai.
Ketika penyelidikan, laporan itu benar. Kayu bakau dari hutan mangrove di Desa Sei Sembikang, Kecamatan Sei Kepayang Timur, Asahan. Di sini, tampak sisa-sisa potongan kayu terapung di pinggir pantai.
“Laporan kami terima, sering terjadi penebangan dan pencurian kayu mangrove. Kami tidak tolerir, langsung sergap saat akan membawa keluar Asahan. Pelaku melarikan diri. Barang bukti sudah diamankan untuk penyidikan lebih lanjut,” katanya.
Dia menyebutkan, daerah pesisir laut di Kabupaten Asahan sering terjadi pencurian bakau. Ratusan kubik kayu dari hutan mangrove di kabupaten ini, diselundupkan ke sejumlah negara melalui Malaysia dan Singapura.
Polhut bekerja sama dengan kepolisian dan TNI. Dengan Polair Asahan juga razia laut, mengingat kayu keluar melalui kapal laut baik Pelabuhan Tanjung Balai, maupun pelabuhan kecil di Asahan dan Batubara. Hasilnya, dalam 30 hari, berhasil menggagalkan lebih lima kali penyelundupan bakau.
“Kita terus kembangkan siapa aktor perambahan hutan mangrove di Asahan ini. Bantuan dan informasi masyarakat sangat kami butuhkan. Mari sama-sama kita cegah karena berbahaya bagi masa depan pesisir pantai.”
Rusak parah
Sebelumnya, hasil penelitian Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut, menyebutkan 90 persen hutan mangrove di provinsi ini, rusak parah. Salah satu penyebab, alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit, dan tambak baik ikan, udang dan lain-lain.
Alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit, cukup besar, lebih dari 12.000 hektar, tambak ikan, 10.000 hektar lebih.
Hidayati, kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut mengatakan, kondisi ini berdampak buruk pada pelepasan gas carbon dioksida dan serapan air bawah tanah, maupun lingkungan rusak.
Kerusakan mangrove 90 persen di daerah pesisir pantai seperti Serdang Bedagai, Batubara, Tanjung Balai, Sibolga, dan Nias, dengan angka rata-rata kerusakan alih fungsi menjadi perkebunan sawit, pembuatan tambak, dan penebangan kayu ilegal, 1.000 -4.000 hektar.
Dia mencontohkan, di Serdang Bedagai, kerusakan hutan mangrove seluas 3.700 hektar. Di sini, penanaman sawit, masih di bibir pantai. Padahal sesuai aturan baku, seharusnya jarak 300 meter dari bibir pantai, tidak boleh ditanami dan dimanfaatkan untuk pengembangan mangrove.
Hidayati menyebutkan, fungsi mangrove selain tempat hidup biota laut, juga menjadi filter abrasi. Untuk itu, harus ada konservasi mangrove kembali ke awal.
“Di Sumut, konversi hutan mangrove, parah. Harus dicegah agar tidak terjadi kerusakan lebih luas.”
Dia menyebutkan, pengambil manfaat dengan merusak mangrove harus bertanggungjawab, dan memberikan kompensasi hingga memberikan nilai lingkungan serta sosial di pesisir pantai.
Mengatasi kehancuran hutan mangrove ini, pada Sabtu (24/5/14) di Pantai Desa Tanjung Rejo, Percut Sei Tuan, Deli Serdang menggelar aksi penanaman bakau dan pelepasan burung migran.
Mereka ini terdiri dari tim pelestarian hutan manggrove dan burung mingran, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat, bersama aktivis pelestarian hutan mangrove dan mahasiswa dari Universitas Negeri Medan (Unimed).
Prof Suharta, ketua panitia program pelestarian hutan manggrove menyebutkan, kesadaran masyarakat menjaga pelestarian hutan mangrove lemah. Ditambah pemodal datang tidak memperhitungkan dampak eksplorasi hutan mangrove untuk usaha mereka.