DISAMPING KANAN INI.............
PLEASE USE ........ "TRANSLATE MACHINE" .. GOOGLE TRANSLATE BESIDE RIGHT THIS
..................
Spesies
Ikan Lokal Nasibmu Kini…
“Indonesia negara yang memiliki keragaman hayati tinggi seharusnya tidak mudah memasukkan spesies asing,” kata Slamet Budi Prayitno, guru besar Perikanan Universitas Dipenogoro, di Jakarta, Rabu( 21/5/14).
Dia mengatakan, ikan asing biasa masuk melalui tiga jalur, yakni penghobi ikan hias, konsumsi, dan ketidaksengajaan. Banyak masyarakat belum memahami dampak membawa spesies asing terhadap perikanan lokal, maupun nasional.
Slamet mencatat, ada 21 jenis ikan produksi asing ke Indonesia dan diterima masyarakat luas. “Ikan hias diimpor dari China, AS, Thailand, Belanda, Afrika, dan lain-lain.”
Ikan asing yang sudah diterima banyak orang seperti mas, nila, sepat siam, lele dumbo, patin, bawal, edang putih, mola dan lain-lain. “Ikan impor ini lambat laun pasti menggusur ikan lokal. Mereka dibawa tanpa memikirkan dampak bagi ikan di Indonesia,” kata Slamet.
Ikan impor masuk perairan Indonesia sebagian besar ikan hias yang belum proses analisis risiko importasi ikan (ARI). Masuk tanpa mendapatkan izin.
“Koan dari China pertama kali masuk untuk mengontrol eceng gondok. Sekarang jadi invasif dan mendesak ikan lokal. Sebaran ikan asing ini kemana-mana.”
Contoh lain, bawal dibawa ke Indonesia untuk tujuan produksi. Ia dipelihara di danau, dan banyak lepas dari keramba hingga menyerang spesies lokal. Bawal sangat invasif.
“Kita kehilangan keragaman hayati. Contoh mujair dulu sirip atas, bawah dan ekor berwarna merah. Sekarang, tidak karena invasif dari nila. Genetik mujair sudah tidak ada. Padahal kalau masih ada bisa diteliti. Bisa direkayasa agar memiliki kemampuan sama seperti nila yang cepat bereproduksi,” kata Slamet.
Seharusnya, pemerintah memprioritaskan spesies lokal. Jangan sampai ikan lokal hilang, berganti dengan spesies asing. “Kasus ini bisa dilihat dengan berkurang lele lokal berganti dumbo. Juga mujair, berganti nila dan lain-lain. Perlu ada pengaturan lebih tegas dari pemerintah mengendalikan spesies asing.”
Padahal, budidaya ikan lokal tak sulit. Contoh, di Papua ada mujair hijau, dan ikan Batak di Sumatera. “Ikan jenis itu makan rumput dan plankton. Biaya budidaya murah.” Ada juga, katanya, udang windu di Tarakan dan delta Mahakam, jenis terbaik di dunia. Semestinya, hal-hal seperti ini bisa bertahan dan berkembang menjadi ikon daerah setempat. “Budidaya ikan lokal harusnya bisa dikembangkan jadi program nasional.”
Slamet mengimbau, pecinta ikan hias tidak membuang peliharaan ke sungai. Sebab berdampak buruk bagi ekosistem perikanan. “Seperti sapu-sapu. Masuk Indonesia sebagai ikan hias untuk pembersih akuarium. Karena tidak diminati, dibuang ke sungai. Berkembang sangat cepat dan rakus. Memakan banyak hal termasuk telur dan ikan-ikan kecil. Akhirnya spesies lokal hilang.”
Arief Yuwono, deputi III KLH bidang Pengendalian dan Perubahan Iklim mengatakan, telah menginventarisasi bersama Kementerian Kehutanan, Pertanian serta Kelautan dan Perikanan.
“Kami sedang menyiapkan peraturan menteri lingkungan hidup. Turunan dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Saat ini sudah masuk biro hukum,” katanya.
Peraturan menteri ini berisi tata cara dan pengawasan spesies asing ke Indonesia. Arief mengatakan, banyak pihak belum sadar dampak negatif spesies asing invasif ini. “Sosialisasi pencegahan, penguatan kelembagaan, dan sistem informas perlu dibenahi.”