DISAMPING KANAN INI.............
PLEASE USE ........ "TRANSLATE MACHINE" .. GOOGLE TRANSLATE BESIDE RIGHT THIS
.......................
Riza
Marlon: Minim Karya Ilmiah Populer, Anak Indonesia Lebih Paham Satwa Asing
Riza
Marlon: Minim Karya Ilmiah Populer, Anak Indonesia Lebih Paham Satwa Asing
Oleh Aji
Wihardandi, February 24, 2014 5:45 am
Fotografi, seharusnya bisa menjadi sebuah medium yang penting dalam melakukan penelitian di alam liar, untuk tujuan pendidikan maupun konservasi alam. Hal ini diungkapkan oleh Karyadi Baskoro, pengajar jurusan Biologi Universitas Diponegoro dalam acara bedah buku terbaru karya fotografer alam liar Riza Marlon berjudul Panduan Visual dan Identifikasi Lapangan: 107+ Ular Indonesia hari Sabtu 22 Februari 2014 di Yogyakarta.
“Sampai detik ini di dunia akademik itu masih kolot.
Artinya di dunia taksonomi identifikasi, ilmuwan itu harus membawa benda, atau
harus memiliki spesimen. Foto itu nonsense. Nggak bisa pakai
foto. Mereka masih menutup mata dan tidak membuka peluang. Kendalanya, jika
selalu menggunakan metode kolot ini, maka kita yang kaya akan keragaman hayati
justru tidak akan kaya lagi. Karena setiap peneliti harus membawa barang
keluar alam liarnya. Bayangkan jika setiap peneliti membawa babirusa, maka ini
akan habis. Sembilanpuluh persen pakar masih menolak menggunakan foto sebagai
alat identifikasi,” ungkap Karyadi Baskoro dalam penjelasannya.
Rintisan penggunaan foto sebagai medium identifikasi
masih harus diperjuangkan hingga saat ini. Karena penggunaan spesimen sendiri,
bukan metode yang sepenuhnya sahih, terutama jika spesimen yang digunakan
rusak, tidak lengkap dan mengalami perubahan bentuk dalam proses pemindahannya
menuju penelitian. Menggunakan medium foto sebagai alat identifikasi pun, masih
memiliki syarat-syarat tertentu, namun hal ini masih memungkinkan dan masih
terbuka peluang. Namun tentu hal ini membutuhkan syarat-syarat foto tertentu
yang bisa digunakan untuk melakukan identifikasi.
Hal lain yang juga menjadi fokus dalam penulisan buku ini adalah upaya untuk mengisi kekosongan literatur-literatur flora dan fauna yang dibuat oleh orang Indonesia sendiri, dan berisi spesies-spesies asli Indonesia. Dampak dari banyaknya literatur-literatur satwa dalam bahasa asing, atau dibuat oleh oleh orang asing salah satunya adalah anak-anak di Indonesia yang lebih banyak mengenal satwa-satwa yang ada di luar tanah airnya, seperti jerapah, singa, dan sejenisnya.
Hal ini, menurut Riza Marlon, terjadi akibat kekosongan literatur yang dibuat oleh orang Indonesia asli itu sendiri. Menurutnya, kita tidak bisa menyalahkan mereka karena membuat berbagai literatur dan penelitian tersebut, hal ini terjadi justru karena Indonesia tidak berbuat. “Kita bilang kita kaya, tetapi kita miskin. Kita abaikan saja kekayaan flora fauna kita, kita biarkan saja kekayaan kita karena kita menganggap tanaman dan satwa itu tidak akan kemana-mana. Jadi berdatanganlah peneliti dari luar untuk melihat isi kekayaan alam kita,” tandas Riza Marlon alias Caca lebih lanjut.
Dengan adanya buku berisi foto-foto flora dan fauna asli Indonesia, di satu sisi hal ini juga akan memberi informasi yang jelas tentang spesies tertentu, salah satunya ular. “Semua orang menganggap, bahwa ular yang berbisa itu pasti berbahaya dan menakutkan, hal ini terjadi karena kita tidak mengenal. Lemahnya informasi ini membuat orang langsung membunuh ular saat mereka dianggap mengganggu manusia. Nah, keberadaan buku ini, juga sebagai salah satu bagian dari konservasi, karena konservasi itu bukan hanya pekerjaan peneliti, namun juga membutuhkan dukungan publik. Itu mengapa saya membuat buku ini mudah dipahami. Karena saya pada dasarnya ingin membuat buku ini untuk anak-anak agar mereka mudah memahami,” Jelas Caca.
Dalam acara yang diinisiasi oleh Indonesia Dragonfly
Society ini Riza Marlon juga menjelaskan bahwa dalam buku ini dirinya menganut
pendekatan yang berbeda untuk membuat kategorisasi dan pembedaan jenis spesies
yang dijelaskan. Umumnya, beberapa buku ilmiah tentang flora dan fauna di
Indonesia dibagi berdasar famili, keluarga atau suku, namun Riza Marlon sendiri
mengakui, bahwa buku ini memang berbeda. Dirinya membuat pembedaan atau
kategorisasi berdasarkan ada atau tidaknya gigi bisa setiap spesies. “Menurut
saya, membedakan ular berbisa dan tidak berbisa itu tergantung dari ada atau
tidaknya gigi bisa. Kalau tidak ada ya pasti tidak berbisa. Agar memudahkan
pembaca, saya membuat label dengan warna hijau, kuning, oranye dan merah,”
jelas Caca lebih lanjut.
Memutus jeda tersebut, Riza Marlon atau yang akrab dipanggil Caca merilis buku ini untuk mengatasi keterbatasan informasi yang beredar di masyarakat tentang ular. Buku ini, adalah buku kedua dari Riza Marlon, setelah buku pertamanya Living Treasures of Indonesia yang diterbitkan 2010 silam.