DISAMPING KANAN INI.............
PLEASE USE ........ "TRANSLATE MACHINE" .. GOOGLE TRANSLATE BESIDE RIGHT THIS
.......................
Hutan
Lindung Pagaralam Terancam Perambahan dan Penambangan Emas
Hutan
Lindung Pagaralam Terancam Perambahan dan Penambangan Emas
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor SK.76/Menhut-11/2010 luas hutan lindung di Pagaralam, seluas 24.618 hektar. Luasan berdasarkan foto satelit ini tersebar di Pagaralam Utara seluas 1.033, 133 hektar, Pagaralam Selatan seluas 823,507 hektar, Dempo Utara 3.041,391 hektar, Dempo Selatan seluas 11.655,558 hektar, dan Dempo Tengah seluas 8.064,41 hektar.
Ida Fitriati, Walikota Pagaralam mengatakan, keberadaan hutan lindung terancam rusak karena aktivitas perambahan. “Karena banyak masyarakat sulit mendapatkan pekerjaan kecuali bertani, sementara ketersedian lahan sudah sangat terbatas saat ini,” katanya saat bertemu perwakilan Japan International Coorporation Agency (JICA) di Pagaralam, Senin (10/3/14).
Namun, katanya, perambahan hutan ini tak akan terjadi, bila infrastruktur pertanian memadai, seperti transportasi dan irigasi. Menurut dia, ada tiga keunggulan pertanian di Pagaralam, yang sangat memerlukan penerapan teknologi industri agar meningkatkan perekonomian masyarakat, yaitu kopi, perikanan dan sayuran dan buahan-buahan.
Masato Kawanishi, Senior Advisor Japan International Coorporation Agency (JICA) mengatakan, siap membantu pemecahan masalah jika menyangkut persoalan produktivitas petani.
“Kalau hanya menyangkut persoalan produktivitas petani, kita akan bantu termasuk membangun infrastruktur, agar petani tidak lagi merusak hutan untuk mendapat lahan pertanian,” kata Masato.
Sebelumnya, telah dilakukan pertemuan Pemerintah Pagaralam dengan JICA pada 14 Mei 2013. Pertemuan menghadirkan perwakilan dari Bappenas. Di sana dibahas soal perubahan iklim dunia. JICA menawarkan program kepada pemerintah Pagaralam untuk berperan mengurangi emisi gas. Caranya, tetap menjaga hutan di Pagaralam. JICA bersedia memberikan bantuan tidak mengikat. Baik teknis maupun dana.
Dari PTPN sampai Tambang Emas
Sebenarnya, luas hutan lindung di Pagaralam mencapai 28.000 hektar, mengalami kekurangan 4.000 hektar, tersisa 24.618 hektar. Pengurangan ini kata Hasan Barin Ibnu, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Pagaralam, Selasa (22/2/11), karena perambahan, ladang berpindah, serta belum jelas tapal batas antara hutan lindung dengan pemukiman warga.
PTPN VII yang memiliki perkebunan teh di Pagaralam dituduh merambah hutan lindung seluas 610 hektar. Terhadap dugaan perambahan ini Pemerintah Pagaralam mengancam tak akan menyetujui perpanjangan hak guna usaha (HGU) milik PTPN VII.
Lokasi hutan lindung yang menjadi perkebunan teh milik PTPN VII berada di Bukit Dingin, khusus di Kibok, Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara.
Terhadap tuduhan ini PTPN VII berpegangan dengan peta milik Belanda. Berdasarkan peta Belanda, kawasan yang menjadi perkebunan teh tak masuk hutan lindung. Berdasarkan peta hutan lindung milik pemerintah Pagaralam, perkebunan seluas 610 hektar masuk hutan lindung.
Ancaman lain, marak aktivitas penambangan emas tradisional akhir-akhir ini. Pada 2011, sembilan tenaga ahli penambangan emas dari Jepang meneliti kandungan emas di Bukit Kayu Manis, Kelurahan Ujanmas, Muarasiban dan Bumiagung, Kecamatan Dempo Utara.
Kehadiran tenaga ahli penambangan Jepang itu menyusul penemuan emas oleh warga Dempo Utara, dilanjutkan penambangan tradisional secara diam-diam. Warga Dusun Jambatakar menemukan terowongan, kemungkinan besar penambangan emas masa pemerintah kolonial Belanda.
Penelitian lokasi yang diperkirakan seluas 5.000 hektar itu mengalami kendala, karena sebagian lahan milik warga. Warga meminta ganti rugi yang dinilai cukup besar bila lahan dibebaskan pemerintah. Bila sebelumnya harga lahan Rp50 juta per hektar, warga menaikkan menjadi Rp150 juta per hektar. Bahkan, sebagain warga menolak pembebasan meskipun dengan harga tinggi.
Dikutip dari Kompas, Herwanando, Anggota DPRD Pagaralam mengatakan, berdasarkan uji coba di Kelurahan Ujanmas, dari 10 kilogram bebatuan menghasilkan antara dua sampai tiga gram butiran emas. Kondisi alam memiliki kesamaan dengan penambangan emas di Lubuklinggau, Sumatra Selatan dan Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.
Wilayah yang berpotensi mengandung emas itu, bukan hanya lahan warga, juga kawasan hutan lindung. Haryanto, Kepala Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset Kota Pagaralam, mengatakan, sebagian wilayah Pagaralam, memiliki kandungan emas. Namun, banyak kawasan masuk hutan lindung, hingga konsekuensi pertambagan harus dipertimbangkan.
Menurut dia, kekayaan alam harus dikelola dengan baik. Haryanto tak merinci berapa luas kawasan hutan lindung yang memiliki potensi tambang emas itu. Hingga kini, penambangan emas tradisional terus dilakukan diam-diam.
Walhi Sumsel meminta semua penambangan emas sebaiknya dihentikan. Begitu pula wacana pemerintah Pagaralam, jangan melanjutkan penambangan emas. “Belajar dari banyak wilayah penambangan emas di Indonesia. Lebih banyak merugikan, khusus bagi masyarakat, dibandingkan menguntungkan,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Rabu (12/3/14).
Hadi mengatakan, penambangan emas, memakan banyak lahan. Jadi, bukan tak mungkin hutan lindung di Pagaralam akan habis karena penambangan ini. “Kalau hutan lindung di Pagaralam habis. Bukan hanya kita kehilangan banyak fauna dan flora, juga resapan air di rusak, dan produksi oksigen dunia berkurang.”
Secara budaya, kemungkinan kerusakan artefak megalitikum juga akan terjadi. Sebab sebagian wilayah yang masuk hutan lindung belum semua dilakukan penelitian oleh para arkeolog. Kemungkinan besar masih banyak tersimpan peninggalan tradisi megalitikum itu.
Selain itu, katanya, ancaman kesehatan warga pun terganggu. Sebab, mercuri dalam penambangan emas sangat berbahaya. Kalaupun dieksploitasi, kemungkinan besar hanya memakmurkan para investor bukan masyarakat Pagaralam. “Sekali lagi sebaiknya dihentikan.”
Hadi mencontohkan, pengalaman buruk di Sumsel, di Bukit Tembang, Muararupit, Kabupaten Musirawas, penambangan emas oleh PT Barisan Tropical Mining (BTM) sejak 1996-2005, hutan rusak, mencemari sungai, memiskinkan masyarakat, juga kesehatan masyarakat menurun, hingga meninggal dunia.
Saat ini, ada tiga kolam beracun ditinggalkan BTM, eks lokasi penambangan emas. “Tidak ada makhluk hidup di kolam. Termasuk pula di sekitar tanaman sulit tumbuh.”
Berdasarkan catatan saya, kala menelusuri tambang emas itu banyak kerugian dirasakan masyarakat dari tambang BTM.
Sungai Tiku, di sekitar penambangan emas mengalami pencemaran. Tak bisa lagi digunakan warga yang menetap di tujuh dusun yakni Sungaijambu, Lubuk Pelubang, Sungaiberingin, Lubuk Pah, Napal Pejongot, Tanjungbengkuang, dan Tanjungharapan.
Pendapatan puluhan ribu warga dari pertanian menurun, misal, produksi karet menurun akibat perubahaan suhu udara, madu lebah menjadi andalan warga sulit didapatkan, durian tidak lagi berbuah. Bahkan, seorang anak bernama Lela, meninggal dunia setelah mandi di Sungai Tiku yang tercemar. Sebelum meninggal dunia, Lela mengaku gatal-gatal dan sekujur tubuh membiru.
Kekayaan Hutan Pagaralam
Meskipun pemerintahan Pagaralam masih terbilang muda, memekarkan diri dari Kabupaten Lahat pada 2001, tapi daerah ini memiliki sejarah penting di Sumsel. Bahkan di Indonesia.
Masa prasejarah, Pagaralam diperkirakan sebagai pusat tradisi megalitikum Dataran Tinggi Bukitbarisan. Sebab, di Pagaralam banyak ditemukan artefak patung dinamis berusia berkisar 2.000 tahun Sebelum Masehi, misal, di Tanjungaro, Belumai, Tegurwangi, dan lain-lain.
Penemuan puluhan artefak berupa patung dinamis ini, menunjukkan, puluhan abad lalu di Pagaralam, pernah hidup suatu masyarakat yang memiliki tradisi tinggi. Artefak di Pagaralam melebihi penemuan artefak di Lampung, Jambi, Bengkulu, atau sama seperti di Lahat, Sumsel.
Pada masa pemerintahan Belanda, Pagaralam sempat akan dijadikan pusat pemerintahan Sumsel menggantikan Palembang, tepatnya di Kecamatan Tanjungsakti. Kini masuk ke Kabupaten Lahat. Pemilihan Pagaralam karena wilayah ini lebih mudah mengakses tiga wilayah yang kini menjadi provinsi yakni Lampung, Bengkulu, dan Jambi.
Lantaran menjadi perhatian Belanda, Pagaralam pun dikembangkan sebagai pusat pertanian seperti kopi, teh, buah-buahan dan sayuran. Termasuk pula pusat pengembangan agama Katolik di Sumsel.
Perkebunan teh pemerintahan Belanda diteruskan pemerintah Indonesia melalui PTPN VII. Luasan kebun tehnya 1.500 hektar.
Pada masa Indonesia, Pagaralam diperkecil menjadi kecamatan. Pagaralam bergabung dengan Kabupaten Lahat. Baru 2001 berdiri pemerintahan Kota Pagaralam, mencakup lima kecamatan yakni Dempo Selatan, Dempo Tengah, Dempo Utara, Pagaralam Selatan dan Pagaralam Utara.
Publikasi terkait wisata dan penemuan artefak purbakala, menyebabkan selama 10 tahun terakhir Pagaralam, menjadi perhatian.
Adapun tumbuhan di hutan lindung di Pagaralam antara lain anggrek hutan, pakis hanoman, atungbungsu, cendana, enau, bayur, tembesu, sirih, dan kerinjing. Sedang satwa liar, meskipun sudah sulit ditemukan, yakni harimau Sumatra dan beruang hitam, ayam beruge atau ayam hutan, burung kecici, burung cangcira, burung betet, dan bangau. Jenis ikan antara lain semah, kalang, keli, pighik dan tilan.
Semua flora, flori dan fauna itu pernah dipamerkan pemerintah Pagaralam pada Pekan Raya Flori, Flora dan Fauna akhir tahun 2012. Namun, dalam pameran itu hanya beruang hitam yang ditampilkan, harimau Sumatra nyaris tak terlihat.
Di sana, piperkirakan banyak keragamanhayati belum diketahui. Dari Tim Ekpedisi Bukit Barisan terdiri dari Kopassus dan Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2011, menemukan tanaman begonia baru atau belum diketahui nama latinnya. Penemuan ini di Hutan Bambu, Kelurahan Curup Jare, Kecamatan Pagaralam Utara, berada di aliran Sungai Air Betung.
Tanaman ini hanya ditemukan di tepian aliran sungai atau di tempat lembab, dan tumbuh di antara bebatuan cadas. Tim juga mengambil beberapa jenis katak yang hidup hanya habit alam Pagaralam, beberapa jenis ikan, udang, hingga burung.