DISAMPING KANAN INI.............
PLEASE USE ........ "TRANSLATE MACHINE" .. GOOGLE TRANSLATE BESIDE RIGHT THIS
..................
Walhi-AMAN
Minta BPK Audit Pertambangan Batubara di Sumsel
“Keberadaan mereka benar-benar merusak lingkungan hidup dan menyengsarakan rakyat. BPK harus audit lingkungan terhadap ratusan pertambangan batubara itu,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, Rabu (23/4/14).
Dia yakin, akan banyak penyimpangan jika dilakukan audit. Mulai persoalan perizinan, pajak, maupun analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Masyarakat Sumsel, katanya, telah merasakan dampak buruk dari pertambangan batubara, mulai kerusakan jalan raya, pencemaran udara dan air, serta kecelakaan lalu lintas melibatkan truk-truk pengangkut batubara.
Kerugian jangka panjang, sekitar 1 juta hektar lahan di Sumsel terbuka akibat aktivitas 50-an perusahaan batubara. Luas konsensi pertambangan sekitar 2,7 juta hektar untuk 300 perusahaan. Lahan, tak dapat lagi berfungsi menjadi hutan atau hanya bisa ditanami tumbuhan tertentu. Satwa-satwa pun mulai langka.
“Dampak lebih jauh, banjir, kekeringan, dan kekebalan tubuh masyarakat Sumsel menurun. Saat ini, banyak anak-anak menderita penyakit mematikan bukan karena virus, seperti kanker, tumor, dan lain-lain,” kata Hadi.
Walhi Sumsel juga meminta pemerintah menghentikan pemberian izin pertambangan batubara. Izin yang ada dipegang pengusaha lokal, nasional, dan internasional. Salah satu MNC Group.
Senada diungkapkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel. Pertambangan batubara ini telah memiskinkan ratusan ribu masyarakat adat di sana. “Lahan atau hutan sumber penghidupan masyarakat hilang,” kata Rustandi Adriansyah, ketua BPH AMAN Sumsel.
Dia mencontohkan, di Muaraenim dan Lahat. Sebelumnya, masyarakat adat hidup dari bertani dan berkebun, kini menjadi buruh perusahaan, buruh tani, atau urban ke Palembang dan kota besar lain. “Banyak jadi TKI dan buruh di Tangerang dan Bekasi.”
Walhi dan AMAN Sumsel meminta, BPK audit perusahaan batubara yang sudah menghentikan aktivitas. “Operasi mereka meninggalkan kerusakan, danau-danau beracun ditinggalkan begitu saja,” kata Hadi.
Beberapa waktu lalu, sekitar 30 perusahaan batubara tergabung dalam Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) menghentikan aktivitas di Sumsel. Mereka mengaku merugi lantaran pemerintah Sumsel tak menyediakan jalan atau sarana transportasi pengangkutan batubara. Ini menyusul Peraturan Daerah Sumsel No 5 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam keputusan itu, gubernur melarang truk pengangkut batubara melintas di jalan umum dan mengalihkan ke jalan milik PT Servo. Sedang Jalan Servo dinilai tidak layak dilalui.
“Terlepas mereka rugi atau untung, yang jelas aktivitas mereka sudah merusak lingkungan hidup. Mereka harus bertanggungjawab. BPK harus mengaudit perusahaan ini,” kata Hadi.
Rustandi menambahkan, mereka tak boleh lepas tangan begitu saja dengan menyatakan rugi. Bukan hanya kerusakan lingkungan, mereka harus bertanggungjawab atas kemiskinan masyarakat adat. “Ini negara hukum, siapapun layak diberi sanksi hukum jika merugikan negara dan masyarakat.”
Ancaman 12 PLTU
Tak hanya itu, Walhi Sumsel meminta rencana pembangunan 12 PLTU di Kabupaten Muaraenim, Kabupaten Lahat, Kabupaten Musi Banyuasin, dan Kabupaten Musirawas, dihentikan. Alasan memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sudah tak masuk diakal. “Kami curiga pembangunan 12 PLTU menggunakan batubara ini bukan untuk kepentingan masyarakat, tapi industri,” kata Hadi.
Jika 12 PLTU terwujud, akan terjadi eksplorasi batubara besar-besaran di hulu Sumsel. PLTU ini akan menjadi produsen karbon dan metana sangat besar. “Sumsel jelas akan menjadi salah satu aktor utama perubahan iklim dunia. Ini sangat tidak kita kehendaki.”